Thursday, May 24, 2007

Panggung

PANGGUNG NYAI ONTOSOROH
'Berpijak dari Tradisi'


SURABAYA, TIU-Artistik panggung Hikayat Perlawanan Sanikem : Nyai Ontosoroh diadaptasi dari panggung seni pertunjukan rakyat. Elemen bambu dan simbul-simbul artistik tradisional begitu dominan. Dengan mengambil konsep 'panggung tradisi' diharapakan mampu menyatukan konsep garapan yang mengambil basik tradisi. Bentuk setengah procenium dengan dibatasi dengan wing-wing dan diperkokoh dengan pilar-pilar bambu, mengingatkan panggung seni ludruk. Begitu juga penggunaan cahaya lampu 'ting' dan lampu 'teplok' diharapkan memperkuat suasana pertunjukan. Selain itu elemen janur dan beberapa perlengkapan tradisi seperti tikar mendong dan tikar pandan, payung motho, diharapakan juga mampu mengukuhkan ruang tradisi yang dimaksud.

Pendekatan panggung tradisi ini, menurut sutradara R Giryadi merupakan bagian dari penyadaran bagi kelompok produksi Nyai Ontosoroh, bahwa masyarakat tradisi kita sangat kaya dengan simbul-simbul. Ia berharap dengan mengembalikan teater pada akar tradisinya ia akan menemukan kembali 'masyarakat pendukungnya.'

Menurutnya ini sesuai dengan fighting spirit Nyai Ontosoroh. Sebagai perempuan Jawa yang telah 'didik' dengan cara Eropa ia tetap berjiwa 'Jawa.' Tau adap sopan sebagai manusia yang merdeka tanpa harus menindas orang lain. Inilah filsafat tepa selira yang kini telah hilang dalam ranah kehidupan sosial kita. Nyai memperingatkan bahwa hakekat perjuangan manusia adalah memperjuangkan diri sendiri dan memperjuangkan diri orang lain tanpa pandang bulu. g

selanjutnya»»

Berita

Nyai Ontosoroh
Produksi Generasi Terbaru TI 2007

Teater Institut (TI) Unesa –dulu IKIP Surabaya- kini sudah berusia 27 tahun. Perjalanan yang sudah cukup lama. Dari tahun ke tahun dinamika proses terus mewarnai perkembangan teater yang kali pertama bernama teater Kosong itu. Selama 27 tahun tercatat berbagai peristiwa pertunjukan telah diproduksi oleh teater Institut. Selama perjalanan itu yang menarik dicatat adalah tumbuh kembangnya konsep berteater antar generasi.
Sepuluh tahun periode pertama perjalanan teater Insititut diwarnai dengan proses penggarapan gaya realis. Kecenderungan gaya realis ini lebih disebabkan adanya materi pendidikan drama yang dilakukan oleh Jurusan Bahasa Indonesia yaitu Pendidikan dan Lokakarya (Penlok) Drama. Disana diajarkan materi dramaturgi dan juga metode latihan praktis.
Sementara itu para anggota Teater Institut yang belajar di Penlok mepraktekkan ilmu di sanggar. Karena itu tak heran bila kemudian muncul garapan dengan naskah-naskah standar karya Iwan Simatupang, Arifin C Noer, Putu Wijaya, Motingo Busye. Dari sini lahir sutradara seperti Setiyono, Rozak Imron (Doyok) dan aktor seperti Siwo Nurwahyudi, Much. Hakim, Retno, dll.
Namun menginjak periode 90-an fenomena itu sendiri bergeser atau tepatnya lebih beragam. Sejak mengikuti ‘Pasar Teater’ ITB di Bandung 1991, ideologi ‘teater kontemporer’ mulai merasuki angota teater Institut. Banyak ekperimen diciptakan. Dari sini lahir sutradara Yogi Suprayogi, Widodo Slamet.
Sejak saat itu, teater Insitut terus bergerak kedalam fenomena yang beragam. Paling tidak sampai awal 2000-an fenomena itu tetap bertahan. Fenomena itu mencapai puncaknya dengan muculnya generasi yang sama sekali baru. Fenomena itu ditandai dengan hadirnya garapan Didik Wahyudi dengan Mesin Hamlet (Heiner Muller). Dengan didukung para ‘simpatisan’ Teater Institut Mesin Hamlet, sempat menjadi perhatian di ajang Pekan Performing Art di Bali.
R Giryadi atau biasa disapa Lek Gir adalah fenomena lain di sanggar Teater Institut. Sejak bergabung dengan Teater Insititut 1990, sampai sekarang masih tetap bertahan. Karena itulah tidak heran kalau hampir separuh perjalanan Teater Insitut didominasi karya-karyanya. Paling tidak sejak tahun 1994, dia telah memilih menjadi peran sutradara dan penulis naskah. Naskah pertama yang diciptakan adalah Orang-Orang Bawah Tanah.
Selama 17 tahun ngendon di Teater Institut puluhan karya telah dilahirkan.
Nyai Onotosoroh adalah salah satu garapannya pada periode 2000-an dengan banyak pemain. Sejak 2000 lalu dia lebih memilih bermonolog. Meski dalam periode itu lahir karyanya seperti Rashomon (Reunosuke Akutagawa-2002-2003), Setan Dalam Bahaya (Al Hakim-2004).
Nyai Ontosoroh merupakan garapan besar yang melibatkan banyak pihak. Sejak bulan Juni 2006 lalu proses produksi dimulai. Boleh jadi garapan besar ini merupakan tantangan besar Teater Insitut periode kepemimpinan kami. Namun atas dukungan dari saudara Aditya Harsa (mas Didit), proses itu berjalan lancar. Begitu juga para alumni dan simpatisan Teater Insitut, seperti Widodo Slamet, Agus ‘Plenthis’, Urip Joko Lelono, Yugo Jayadi, Karim, dll, telah membantu kelancaran proses ini.
Begitu juga kami juga menyampaikan terimakasih kepada pihak Universitas terutama Pembantu Rektor III yang telah memberikan perhatian yang cukup terhadap kegiatan mahasiswa terutama UKM Teater. Begitu juga kami juga menyampaikan terima kasih kepada Perguruan Rakyat Merdeka (PRM) Jakarta yang telah memberikan sumbangan ide dan inspirasi, terhadap proses Nyai Ontosoroh. Semoga semuanya bermanfaat bagi kita semua.

Surabaya, Juni 2007
Ketua Umum
Teater Institut Unesa

Luksy

selanjutnya»»

Sunday, May 20, 2007

Sajak : Alek Subairi



Surat bulan

I
Di warung cokelat di kota kecil
remang itu memikat pikiran yang
bertahun-tahun mencari tempat untuk menari
seseorang menari di dalam baris kalimat berapi,
kalimat yang menyimpan rahasia doa

Pembicaraanpun merapat pada halaman takdir
bukankah semula kita tak saling kenal.
ucap seorang kawan sehabis bersunyi-sunyi sendiri
secangkir kopi dan malam yang asing membuka pintu bathin

Kami memungut hari kecil dan silsilah keluarga
membalik kenangan menjadi cerminan airmata
di manakah pertama kali kau menangis, kawanku
adakah yang bertanya kepadamu, mengapa?

Lalu seseorang yang lain lagi lahir dalam pikiran
seperti kekasih yang melambai di bawah palem berbaris-baris
ada yang bertamu di dalam hati: namanya kekasih
dan bulan yang baru terbit tiba-tiba tak ingin kau lupakan
II

Warung itu berpagar besi bekas rel kereta
lampu petromak, perempuan berkain batik, dan
orang-orang laki berkumpul. tidak membuat lingkaran

Di tempat yang lebih wangi, perempuan bersanggul
melihat bulan dan langit cerah, ekor matanya membuat tanda
begitu rahasia, begitu berbahaya

mendekatlah seperti bisikan,
mendekatlah bagai perahu nelayan di bulan desember

Beberapa orang mendekat bagai tikus dalam terang
namaku keladi, namaku papi, namaku om, namaku kadal, namaku gelap
mari melupakan pahit, mari melayang ke langit-langit paling biru

beri aku nama yang lain, wahai kesunyian
aku lelah menjadi layang-layang tanpa benang

Tapi di manakah letak cinta diantara
birahi dan orang laki yang meninggalkan rumah diam-diam
mengapa jauh suara anak-anak yang memanggilku bunda


III

Berilah aku tempat di dalam kesunyianmu
wahai tualang kekasih bulan
barangkali disuatu malam yang kalut
di suatu malam yang tak kau duga
aku menjadi air kali yang ngalir ke dalam pikiranmu

Aku lahir dari kecemasan orang-orang bijak
untuk menjalani hidup sebagai mangsa para ular
ajari aku mencuci piring dan menyiram kembang rumput

Malam mengapit perempuan bersanggul,
wajahnya sepi tertikam, sebuah bisikan, entah dari mana
tiba-tiba ingin mengantarnya pulang kepada sesuatu jauh

apakah aku namaku masih bisa disucikan

Orang-orang laki masih seperti sediakala
lagu campursari, suara gelas, dan tawa yang ingkar
mengucilkan namanya ke tempat paling rendah
Tempat yang tak ada dalam mimpi kecilnya
o, di manakah letak rasa tenteram itu, bunda.


IV

Jam dua belas malam
perempuan bermata kupu
menunggu di jalan pulang
ia ingin banyak menagis

Tangis yang disimpannya bertahun-tahun
di dalam sebuah album bergambar seorang
yang mendayung perahu ke tengah laut

Aku telah jauh meninggalkan tanah kelahiran
aku ingin sampai ke dadamu bagai tualang
yang kemalaman di jalan

Tuhan, perkenalkan aku dengan halaman yang
menunggu namaku di pintu paling dekat, dan
seorang anak yang berlari kencang ke dalam pelukanku

Bojonegoro 2007











selanjutnya»»

ALBUM PERTUNJUKAN

ALBUM PERTUNJUKAN
Aeng Versi 1 di IKIP Surabaya tahun 1996-1997. Disutradarai oleh R Giryadi. Dimainkan oleh Achmad Ansori.