tag:blogger.com,1999:blog-211998315233091522024-02-19T00:05:31.529-08:00Teater Institut Unesateater instituthttp://www.blogger.com/profile/11723007285935945702noreply@blogger.comBlogger14125tag:blogger.com,1999:blog-21199831523309152.post-12834951542684523212008-03-13T18:13:00.000-07:002008-03-13T18:22:35.309-07:00Aktor Menurut Pandangan Saya<blockquote></blockquote><br />(Pra diskusi menuju, Mesin Hamlet menjelang Terompet Senjakala)<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Cermin sebuah Sejarah</span><br />Pernahkah anda bercermin? Apa yang terjadi (dalam pikiran) ketika anda bercermin? Adakah sesuatu yang terjadi dalam pikiran anda? Apa reaksi Anda? Apakah tiba-tiba cermin menjadi sebuah lorong yang tak terbatas, menembus berbagai dimensi? Atau tiba-tiba cermibn berubah menjadi keseluruhan ruang tubuh Anda? Atau barang kali tanpa anda sadari, cermin itu berubah menjadi ‘sejarah’ masa lalu atau seditik yang lalu.<br />Untuk memasuki ruang ke aktoran, menurut saya kita harus membuka berbagi pintu -yang tanpa kita sadari- banyak yang tertutup. Menjadi aktor, menurut saya ibarat bercermin. Ketika bercermin –menurut pengalaman saya- terjadi ekspresi (ungkapan hati) yang spontan. Tiba-tiba kita seperti memasuki ruang sejarah yang spontan, tanpa bisa kita rencanakan dan sekaligus menolak kehadirannya. Sejarah itu berlompat-lompatan, saling tindih dan pada akhirnya berbagai persoalan-persoalan itu bermuara pada pertanyaan yang falsafati : “siapakah aku.”<div class="fullpost"><br /><br />Pada muara inilah kita mengadu pada diri sendiri. Kita berinteraksi dengan diri sendiri. Kita bermonolog dialtar kesunyian. Pada saat kita tersadar, pasti kita akan lupa jawabannya. Besok, ketika kita kembali bercermin, pertanyaan itu datang lagi : “siapakah aku”.<br />Menjadi aktor, memang harus terus bertanya pada ‘aku’. Bukan untuk menemukan ‘aku’ tetapi untuk memaknai ‘aku’. Karena ‘aku’ bukan eksistensi (wujud) tetapi ‘aku’ adalah makna (abstrak). Menjadi aktor itu, tidak berhenti pada kwalitas performancenya tetapi aktor yang bisa ‘merasuki roh.’ (mumet pora kowe…..) Inilah yang dinamakan memasuki sejarah dalam ruang hampa (cermin).<br />Jadi kalau kita bercermin, -seperti yang saya alamai- seakan kita sedang merasuki sebuah ‘roh’. Dimana kita bukan menjadi diri kita sendiri, melainkan, menjadi sesuatu yang kita benci, sesuatu yang kita harapkan, sesuatu yang menggembirakan, sesuatu yang memuakan, sesuatu yang…nggatheli. Semua berbaur menjadi satu, sehingga tak jarang, tiba-tiba kita tersenyum, bahkan tiba-tiba kita merasa takut dan melarikan diri. Menjadi aktor memang ‘menggembirakan’ sekaligus ‘menakutkan.’<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Memaknai Aku</span><br />Menjadi aktor itu bisa menggembirakan sekaligus bisa menakutkan. Menggembirakan, bila kita bisa memaknai ‘aku’. Sedangkan menakutkan bila kita dikuasi ‘aku’. Memaknai ‘aku’ dalam pengertian sempit, bisa menghidupkan karkter (permukaan/wantah). Dalam pengertian luas bisa menghidupkan ‘roh’ (iner), bahkan bisa membunuh ‘roh’. “Aku dulu Hamlet…..tepi sekarang Ipin”!<br />Menjadi Basir (diri sendiri) itu (barangkali) mudah, tetapi menjadi Takehiko, Basir harus rela berbagi ‘Aku’ dengan ‘dia’. Dengan diri dan cermin. Pada cermin, Basir harus rela dirinya ‘ditelanjangi’ untuk melihat siapakah dirinya yang sebenarnya. Apakah dalam dirinya terkandung, manusia bejat, suami yang tak bertanggung jawab pada istrinya, manusia yang tidak memiliki perikeadilan, manusia yang hanya mementingkan diri sendiri, atau justru sebakliknya, dia adalah manusia yang bertanggung jawab pada diri dan istrinya. Takeheko adalah roh dalam sejarah. Sedangkan Basir adalah pelaku sejarah. Untuk dapat hidup, Basir harus ‘menangkap roh’ dalam sejarah itu. (Mumet maneh kon…)<br />Pertanyaannya mapukah kita menangkap roh dalam sejarah itu? Inilah tantangan kita (aktor) untuk memaknai aku (diri) dan aku (dia). Pekerjaan ini tidak gampang, karena kita ‘dipaksa’ memainkan dua peran yang dalam pengertian sejarah dan filsafat berbeda.<br />Problim keaktoran itu seringkali terbentur pada kwalitas memaknai aku. Kwalitas aktor itu ditentukan, seberapa jauh, pemeran itu bisa menghidupi diri –nya dan diri-nya yang lain. Sering kali saya melihat penampilan seorang aktor itu, aku adalah aku, dan dia adalah dia. Ini menyulitkan permainan. Saya sering menjumpai, kwalitas aktor kita berhenti pada penyampaian ‘peran,’ dan tidak sampai pada penyampaian ‘pesan.’ Keaktoran kita (TI) belum bisa menembus dimensi dalam dirinya, sehingga kalau kita melihat berbagai produksi (TI), kita hanya melihat, Basir yang berkata-kata, Iwan yang terbahak-bahak, Ipin yang petentang-petenteng keberatan peran, dll. Ekstrimnya, jangan menjadi aktor bila hanyab bermodal hapal naskah saja.<br />Memang sepenuhnya itu bukan kesalahan aktor! (hheee…gitu aja marah). Faktor yang lain pasti bisa menyebabkan seberapa jauh kwalitas aktor itu bisa baik. Tentu anda semua tau bahwa faktor sutradara juga menjadi ‘penentu’ aktor itu menjadi berkwalitas atau sebaliknya. Namun dalam seson ini, bukankah kita hanya berbicara keaktoran. Jadi mohon maaf bila saat ini yang menjadi terdakwa sang aktor. (Kapan sutradaranya? Terserah Anda) <br /><span style="font-weight:bold;"><br />Memaknai Teknik </span><br />Seluruh tubuh manusia adalah sejarah. Setiap sudut sendi kita terkandung sejarah. Begitu juga pakaian yang menempel dalam tubuh kita adalah sejarah. Manusia adalah sejarah. Kwalitas manusia itu bukan pada pencapaian memaknai sejarah masa lalunya tetapi menciptakan sejarah masa depannya. <br />Ketika kita bercermin, yang kita gali bukan melihat sejarah, tetapi membuat sejarah itu hadir untuk menjadi sejarah masa depan. Yang menjadi pertanyaan adalah mampukah anda menggali sejarah (ruang bawah sadar) dan menjadikannya sejarah masa depan (idea)? Teknik bermain, sebernanya telah menyatu dalam diri kita. Tetapi kita terkadang tidak menyadari, berbagai ‘teknik’ itu sudah kita kuasai. Tetapi mengapa kita tidak bisa menghadirkan ‘teknik’ yang sudah kita kuasai itu dalam tataran ‘idea’?<br />Barang kali pertanyaan ini sepadan : Mampukah kita berekspresi, hanya berbekal pengetahuan teknis? Pengetahuan teknis, sering menjebak kita ke hal-hal yang mekanis. Meski demikian hal-hal teknis itu harus kita gali, agar potensi mekanis bisa kita redam. Pengertiannya hal-hal teknis itu harus sudah menyatu dalam diri kita dan bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Semua terkontrol dalam kesadaran yang penuh dan total.<br />Jadi, memaknai teknis itu, tidak seperti kita belajar 1+1 = 2, tetapi bisa jadi 1+1 = tak terhingga. Belajar teknis itu menjadi sesuatu yang tidak terukur. Kita tidak bisa mengandalkan latihan vokal A, I, U, E, O…untuk mendapatkan kwalitas fokal yang imajinatif. Kita perlu eksplorasi sampai seberapa jauh vokal itu bisa menghidupkan peran.<br />Memaknai teknis itu tidak sebatas latihan rutin saja. Tetapi lebih jauh dan terpenting adalah mendalami kwalitas kehidupan kita. Dalam kehidupan keta, berbagai hal teknis telah menyatu dengan gerak tubuh kita. Hanya saja tidaK pernah kita sadari. Untuk dapat kita menyadarinya, kekuatan teknis itu harus kita gali setiap kita latihan rutin, kemudian menjadi sesuatu yang kita sadari. Sehingga kekuatan teknis itu, benar-benar menyatu dan tidak berdiri-sendiri. Sehingga ketika kita berlatih untuk memerankan sebuah peran, yang terjadi bukan sebuah penindasan oleh sutradara dan peran, tetapi, kompromi dan dialog dengan sutradara dan peran.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Epilog</span><br />Jadilah Ipin kemudian jadilah Hamlet (dalam ruang idea). <br /><br />(selamat mumet memikirkan teater)<br /><br />(Disampaikan dalam rangka latihan alam, angota teater Institut Unesa 2004, di Pangajaran Jombang)<br /></div>teater instituthttp://www.blogger.com/profile/11723007285935945702noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-21199831523309152.post-58437427757568760802008-03-13T17:59:00.000-07:002008-03-13T18:09:26.989-07:00coming soon<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmfrk58euavpZjDzRI106J7Gtn-VktNWthiJlof_kDXVXpd8sIc-Piqg6eT77GImr1qupqN8kok0N3vVmuj0gVCa__I4A_otn7yvmayozGz4w4K0NHxMJIklMRnDiVYRemhnL8jhY90A/s1600-h/Giryadi+retorika-oke.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmfrk58euavpZjDzRI106J7Gtn-VktNWthiJlof_kDXVXpd8sIc-Piqg6eT77GImr1qupqN8kok0N3vVmuj0gVCa__I4A_otn7yvmayozGz4w4K0NHxMJIklMRnDiVYRemhnL8jhY90A/s320/Giryadi+retorika-oke.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5177397155835492914" /></a><br />Retorika Lelaki Senja<br />R. Giryadi<br /><br />SEBUAH LEMARI TUA BERDIRI KOKOH. DI SEKITARNYA BEBERAPA INTERIOR TUA DAN KELIHATAN TAK TERAWAT. BEBERAPA EKOR TIKUS BERSLIWERAN, SIBUK MENGUSUNG BENDA-BENDA CURIANNYA. MEREKA SALING BEREBUT. DISAAT KEGADUHAN MEMUNCAK, TIBA-TIBA PINTU LEMARI TUA ITU MEMBUKA PERLAHAN-LAHAN. BEBERAPA TIKUS ITU SEGERA MELESAT, MENINGGALKAN BENDA-BENDA ITU TERGELETAK BEGITU SAJA. SEMENTARA PINTU LEMARI TUA ITU MENUTUP DENGAN CEPATNYA SEHINGGA MENIMBULKAN BUNYI : “Brak!!”<br />BEBERAPA SAAT KEADAAN SEPI. PINTU LEMARI KEMBALI MEMBUKA SECARA PERLAHAN. DARI BALIK PINTU ITU MUNCUL WAJAH SESEORANG. SOROT MATANYA MENYELIDIK. SETELAH DIRASA AMAN, SESEORANG ITU KELUAR DARI LEMARI.. SESEORANG ITU MENENTENG KOPER (ATAU BUKUSAN KAIN). TIBA-TIBA BEBERAPA TIKUS MELINTAS SEPERTI FORMULA-1. SESEORANG ITU SEGERA MELONCAT KE TEMPAT YANG LEBIH TINGGI. TIKUS-TIKUS BERPUTAR-PUTAR. MELONCAT KESANA KEMARI. DI TEMPAT YANG TINGGI ITU, SESEORANG YANG KELIHATAN RAPUH, MENYAPA SIAPA SAJA, DIWAKTU KAPAN SAJA.<div class="fullpost"><br /><br /> <br />Selamat apa saja dan selamat kapan saja. (Clingukan melihat situasi sekitarnya) Baiklah, dalam kesempatan ini, sebelum drama ini berlangsung, ijinkan saya mengutip sebuah kalimat yang cukup terkesan dihati saya. “Kalau saya bunuh diri, sandiwara ini tidak akan pernah ada!” (1) Pasti anda ingat dengan kalimat itu. Nah, kalau diperkenankan kalimat itu akan saya kutip menjadi, “Kalau saya mati, saya tidak bisa kurupsi!” Hiiiii. Makanya sekalian masih hidup sandiwara kurupsi ini harus saya jalani dengan cara seksama dan dalam tempo (kalau bisa ) selama-lamanya. <br /> <br />TERTAWA<br /><br />(Kepada para tikus) Sudah, pergilah! Tugasmu sudah berakhir! Terlalu verbal! <br /><br />SETELAH TIKUS BERLALU<br /><br />Berkurupsi sudah menjadi garis nasib saya. Karena itu dalam melakukannya tidak boleh setengah-setengah. Meski banyak dicaci-maki orang, saya harus jalankan amanat nasib ini dengan sebaik-baiknya.<br />Ya, memang terpaksa harus saya jalani. Sebagaimana Mas Jumena Martawangsa, saya harus menerima nasib sebagai aktor (dalam tanda petik) untuk menjalankan peran yang meskipun berat, harus menerimanya dengan iklas, dengan lapang dada.<br />Saudara-saudara, banyak ajaran yang mengajarkan pada kita, bahwa kita harus iklas menerima nasib. Saya memang tidak bisa mengelak untuk berkelakuan seperti ini. Saya tidak ingin munafik dalam hal ini. Ketika saya harus melakukan sesuatu, selagi ada kesempatan semua akan saya lakukan dengan sebaik-baiknya, tanpa menunggu-nunggu dan melewatkan kesempatan itu berlalu begitu saja.<br />Sampulung pernah berkata, “Menjadi tokoh nasib sama sekali tidak ada enaknya karena selalu dicemooh oleh hati, namun berlangsungnya lakon tak dapat dihalangi. Silahkan menyaksikan dan mencemooh diri saya, sudah tentu setelah sudara-sudara memuja dan menjilat-jilatnya.” (2)<br /> <br />MELETAKAN TAS (KOPER) ATAU APA SAJA YANG TERKESAN BUNGKUSAN UANG. KEMUDIAN MEMBUKANYA. DI DALAMNYA ADA PULUHAN TOPENG DAN DASI. SETELAH MENYERINGAI, SESEORANG MEMBETULKAN DASI. MEMAKAI TOPENG.<br /><br />Sampulung, saya menghargai pendapat panjenengan. Nyatanya menjadi tokoh nasib memang tidak enak, apalagi peran yang harus dijalani tidak baik di mata orang lain. Saya harus menerima nasib seperti ini dengan iklas dan tulus untuk menjadi bajingan sebagai jalan hidup. Ini kenyataan yang tidak bisa dihindarkan, seperti sampeyan tahu, berapa nomer lotre yang sedang dalam genggaman sampeyan. Sementara orang-orang blingsatan, menduga-duga, dan menghargai nasibnya sendiri dalam jumlah sekian rupiah. Hmmmm, kok murah betul nasib itu? <br />Mas Jumena, saya pingin tahu, apakah yang sampeyan rasakan saat itu? Apa yang terjadi dalam diri Mas, ketika melihat disekeliling sampeyan semua menjadi pecundang, sementara maut telah menjelang? Saya kira jawaban Mas, pasti tidak berbeda jauh dengan yang saya pikirkan, dan juga sampeyan pikirkan.<br />Kesetiaan hanya omong kosong. Itu hanya akal bulus, agar kita menjadi terlena dan tidak tahu, sebenarnya di sekeliling kita dunia gelap gulita. Dunia para pencoleng memerankan sebagai manusia suci. Dan manusia suci memerankan sebagai pencoleng. Dunia sudah jungkir balik. Dan memang dunia diciptakan jungkir balik, agar manusia mempunyai keputusan yang tegas. Kalau hitam, hitam. Kalau putih ya putih. Itu saja prinsipnya. Sekarang, yang putih bisa berubah jadi kelabu. Begitu juga yang hitam, bisa berubah jadi abu-abu. Semua tidak hitam dan tidak putih. Inilah yang mengacaukan dunia. Tidak jujur!<br />Maka dalam hal ini saya saya sangat setuju dengan Turah isteri Korep yang sangat benci dengan kemiskinan. Karena tidak iklasnya miskin, ia berkali-kali mencari pesugihan dengan jalan berjudi, meski berkali-kali pula jantungnya dibuat berdebar-debar dan hasilnya kosong mlompong, bahkan harus rela menjual kehormatannya demi memperjuangkan nasibnya. (3)<br />Ini pilihan yang jujur. Dari pada setengah setengah, apa jadinya? Emangnya hidup hanya dijejali mimpi-mimpi. Hidup diawang-awang. Kalau mau kaya lakukan apa saja. Jangan kemiskinan jadi alasan untuk tidak berbuat sesuatu. <br />Sampulung, sampeyan memang harus disikapi lain dan lain. Tidak hanya dengan kata-kata iklas dan tulus. Terkadang harus melawan sampai titik darah penghabisan. Tergantung sampeyan datang sebagai apa. Kalau sampeyan datang dalam bentuk kemiskinan, maka tidak heran kalau Turah menggadaikan kehormatannya, dan juga Euis berani mencederai kesetiaan Mas Jumena yang sudah buyuten itu. (4)<br />Ini sangat realistis. Dari pada menjadi pecundang semacam Korep suaminya yang takut menjadi kaya, sehingga ia berlaku sok jujur dan sok relegius. Sok menerima nasib apa adanya. Namun sebenarnya dihatinya yang sok suci itu tersimpan niat licik, selicik Bandar (5) yang bisa memainkan keluarnya nomer lotre. Jangan munafik, ketika ketidakberdayaan menjerat. Ini untuk memperteguh iman. Agar tidak takut bertindak.<br />Kenapa Turah tidak takut menjadi lonthe? Karena Korep sendiri tidak takut mencederai rumah tangganya dengan membabi buta. Kenapa Euis rela bermesraan dengan Juki, Marjuki maksud saya, di depan Jumena Martawangsa yang otaknya sudah digergaji ketakutan dan ketidakpercayaan pada orang-orang disekelilingnya? (6)<br />Saya kira terkadang kejujuran bisa menjadi buah simalakama. Mengapa kita harus mengantarkan nasib pada ketidak pastian. Kalau kita ingin melakukan sesuatu, lakukan. Kenapa harus ditutup-tutupi?<br />Mas Jumena, saya sangat setuju dengan ketegasan sampeyan, mempertanyakan cinta Eusi. Karena hati manusia selalu berbeda dengan mulutnya. Kadang dihatinya berkata tidak tetapi dimulutnya berkata ya.<br />Lihat saja sekarang? Siapa yang tidak menjadi pecundang bagi dirinya sendiri. Semua telah menjadi pecundang. Namun mereka hanya lihai menutupi kebusukannya. Siapa sih yang tidak suka duit? Siapa yang mau hidup melarat? Siapa yang mau anak turunnya juga menjadi gembel? Siapa yang kuat ujian menjadi manusia miskin, hidup dikolong-kolong jembatan, memakan makanan dari hasil mengorek-ngorek tong sampah, penghasilan hanya dari mengemis. Kalau kepepet sedikit mencopet atau menodong.?<br />Sekarang baik buruk itu bukan sesuatu yang penting. Yang terpenting bisa membuat semua itu meyakinkan. Kalau Anda merasa berbuat buruk maka Anda harus meyakinkan bahwa yang sedang Anda kerjakan itu baik. Harus yakin! Dengan demikian semua pasti yakin, meski yang Anda perbuat adalah sesuatu yang buruk.<br />Tidak boleh malu. Betul ini. Tidak boleh malu. Kalau malu maka misi Anda untuk meyakinkan itu tidak berhasil. Sampeyan pasti ingat, bagaimana dengan tidak malunya Emak, mengatakan pada Abu, anaknya yang korengan dengan sebutan Pangeran yang rupawan. Dan karena Emak meyakinkan, sang anakpun merasa sebagai pangeran. Padahal mereka adalah gembel yang diperbudak mimpi. Pangeran edan! (7) Tetapi, mereka sungguh meyakinkan. Sehingga kemiskinan yang telah dihadapinya selama hidup tak terasa sebagai penderitaan. Huh…hebat betul.<br />Nah begitu juga, ketika Anda mencopet, menipu, mencuri, merampok, atau berbuat apapun, harus meyakinkan. Sekali lagi harus mayakinkan! Kalau tidak meyakinkan, maka celakalah hidup Anda.<br />Saya kira, saya sendiri tidak mau hidup dalam kubangan kemiskinan. Makanya dengan sangat meyakinkan, saya harus macak bukan sebagai orang miskin. Saya tidak sudi diperbudak kemiskinan. Kemiskinan? Yu Turah, kamu benar, bahwa menjadi miskin itu siksaan. Maka jalan terbaik harus membebaskan diri dari siksaan kemiskinan itu. Sampeyan sangat berani menclathu Korep, suami sampeyan yang sok suci itu. Kemiskinan memang tidak bisa ditolelir. Harus dilawan dengan cara apapun. Kalau sampeyan hanya bisa tombok lotre, ya tombok saja. Dari pada hanya pasrah, menunggu perubahan! Lemah betul kelihatannya. <br />Orang pasrah itu hanya mengandalkan perasaan. Otaknya sendiri tidak main. Karena perasaan yang berperan, bisanya hanya menduga-duga, tanpa mau bicara apa yang menjadi keresahannya. Terus kalau nasib tidak segera berubah, mulutnya nyinyir menyalahkan orang lain dan sok dirinya suci. Ini tidak adil! Kemiskinan hanya mencetak ketidakadilan. Orang nyinyir karena lapar. Karena dirinya tidak bisa berbuat. Karena dirinya telah dibelenggu oleh dirinya sendiri yang sok sudah bagaimana begitu. Untuk memberantas itu, lawan kemiskinan!<br />Manusia tidak boleh miskin dalam berbagai hal. Ini penyakit. Kalau sudah menjadi penyakit, logikanya harus pergi kedokter. Jadi siapa yang tidak suka kekayaan, lebih baik sekarang juga tinggalkan gedung ini. Pergilah ke dokter. (Kepada penonton) Siapa yang suka miskin, angkat tangan! Berarti semuanya sehat.<br /> <br />TERTAWA<br /><br />Yu Turah, Kang Masmu itu seperti ketika saya masih idialis dulu. Sok idialis. Sok suci semuci. Sok tidak butuh kesejahteraan. Sok malu. Padahal dalam hatinya tidak begitu. Betul? Saya mengalami sendiri. Saya tahu, sebenarnya dalam hatinya ingin sekali hidup itu enak, tidak kedumpyangan mencari utangan. Tetapi ketika masih idialis, hmmm…kayaknya hidup itu harus begitu. Biar sengsara asal hatinya tenteram.<br />Cuiih! Bagaimana mau tenteram kalau perutnya melilit-lilit. Hatinya gundah gulana karena selalu dicerca oleh istrinya dan dirinya sendiri? Apa tidak tambah ngenes, terus akhirnya mati kaku?<br />Mbok yang realistis. Yang jujur pada diri sendiri. Kalau bisanya nyopet, mengapa tidak nyopet? Kalau bisanya ngutil (mencuri), kenapa tidak ngutil? Kalau bisanya korupsi, mengapa tidak korupsi? Semua itu tergantung niatnya. Kenapa harus menggantungkan hidup pada mimpi-mimpi? Kenapa harus menggantungkan hidup pada ketidakjujuran pada diri sendiri?<br />Yu Turah, kamu memang benar-benar hebat. Saya terkesan sekali ketika sampeyan nuturi Korep yang sekali lagi lelaki yang sok suci itu.<br />Ya begitu itu orang yang terbiasa hidup miskin. Mereka takut kaya. Mereka sudah merasa cukup puas dengan yang diberikan oleh Tuhan, meski sediiiikiiiittt.<br />“Korep! Kecaplah sedikit kekayaan niscaya kamu akan ketagihan dan kamu segera akan bisa merasakan bagaimana kekayaan melecut darah sehingga wajahmu berwarna merah." (8)<br />Kalian tahu, Korep masih bisa membantah dengan berkata tidak jujur. “Saya tidak pernah lapar.” (9)<br />Huh..!!! Sungguh munafik! Bagaimana mau merasa kenyang kalau setiap hari memang tidak pernah makan, karena bisanya hanya mimpi? Itu mah, kebal. Tuh lihat para petinju itu. Setiap hari dipukuli, semakin hari-semakin tahan pukul. Kelihatannya betul ia kebal pukul. Ototnya kuat. Tulang wajahnya kuat. Tetapi yang tidak pernah ketahuan, otaknya jadi lumer, organ tubuhnya remuk. Baru terasa kalu sudah tua.<br />Orang yang kebal miskin, kelihatan sehat-sehat saja, tetapi hatinya hancur. Dan ini lebih berbahaya, karena mereka tidak punya hati. Ingat, “Kelaparan adalah burung gagak yang licik dan hitam.” (10) <br />Saya kira memang benar. Bahwa nasib tidak akan berpihak pada kebanyakan orang yang merasa dirinya hidup bersama nasib. Padahal nasib adalah satu kekuatan yang tak terkendali bahkan oleh dirinya sendiri. Nasib tidak pernah berpihak pada kebanyakan orang. Nasib tidak mengenal SARA. (11) Karena nasib tidak mengenal SARA, maka kita harus tegas, kepada siapa kita berpihak!<br /> <br />MENGENAKAN DASI. MENGGANTI TOPENG.<br /><br />Kenakan dasi, tampaknya mudah sekali. Ini tidak gampang, kalau dasi sebagai simbul keberhasilan. Tetapi kalau sebagai tampang saja, seribu dasipun begitu mudahnya kita mengenakannya.<br />Saya sudah terbiasa dengan kehidupan seperti ini. Jadi saya sangat mudah sekali mengenakan dasi. Berapa kalipun menginginkannya, saya begitu mudahnya menggantikan dasi. Ini tergantung dari dan untuk apa saya mengenakan dasi.<br />Anda perlu tahu, satu dasi yang saya kenakan, sama dengan satu kemungkinan saya mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya. Setiap saya mengenakan dasi saya menjadi percaya diri dengan apa yang saya kerjakan dan saya tidak pernah menjadi ragu-ragu. Bahkan orang-orang yang mempercayai saya, juga tidak merasa ragu-ragu, karena kami memang didukung oleh saling percaya dan tahu sama tahu.<br />Ini sudah berlaku dimana-mana. Saya tidak perlu menutup-nutupi dengan dalih apapun. Saya harus jujur. Karena kejujuran kunci utama kesusksesan. Saya memang jujur. Ketika mereka memberi isyarat untuk diberi uang pelicin, apa beratnya memberinya kalau memang membuat urusan menjadi licin. Jangan berbelit-belit kalau tidak ingin menemui jalan buntu.<br />Saya sudah mengalami hal itu, ketika masih kuper dulu. Pasti hal ini tidak perlu saya ceritakan lagi, karena untuk urusan ini sudah menjadi jamak. Sudah terjadi dimana-mana dan tidak perlu ditutup-tutupi. Dari presiden, sampai pengurus RT, kalau tidak memakai pelicin urusan pasti jadi seret.<br />Kalau tidak pecaya silahkan coba. Apa? Ya kalau ada itu pengecualian. Kalau saya bandingkan, seribu banding satu. Satu itu orang yang bernasib malang, karena telah menyia-nyiakan kesempatan. Lo, betul lo ini? Ini kesempatan. Kapan lagi berbuat? Wong sebenarnya sistem itu ada, tetapi kan berlaku di bawah tangan dengan undang-undangnya saling percaya. Kenapa takut melakukan? Meski lima ribu sepuluh ribu kalau kali sekian orang, berapa jumlahnya? Hitunglah sendiri dan pikirkan.<br /> <br />TIBA-TIBA SEEKOR TIKUS BERLALU SAMBIL MENGGONDOL SESUATU.<br />MELOMPAT KE TEMPAT YANG LEBIH TINGGI<br /><br />Lihat! Tikus yang tidak mengerti apa-apa saja bisa berbuat untuk dirinya. Dia tidak takut dengan yang dilakukannya, meski ia tahu resikonya. Ia tahu hidup di dunia itu harus survival (kata guru-guru kita). Kalau tidak, kita bisa menjadi makluk minoritas dan terjajah. Apakah ini lebih baik? Cobalah beranikan diri. Saya sudah ribuan kali untuk mencoba hidup idialis. Tetapi ketemunya saya harus realistis. Saya harus mengaca pada kemampuan dan kesempatan yang saya dapat. Sekali lagi kesempatan!<br />Ndilalah saya selalu mendapat kesempatan. Tikus itupun ketika mengusung barang-barang curiannya (dalam tanda petik) pasti menunggu kesempatan. Ketika ada kesempatan melesatlah dia. Apalagi saya. Sebagai manusia yang memiliki akal budi, dalam bertindak pasti berbeda dengan para tikus itu. Saya harus menggunakan dasi, sepatu, rambut klemis, dan make up seperti ini. <br /> <br />MEMAKAI TOPENG DENGAN HIDUNG SEPERTI KELAMIN LAKI-LAKI.<br /><br />Lo, kenapa tertawa? Apa ada yang lucu? Memang ini kelihatan naif. Ini salah satu bentuk akal budi untuk mengelabuhi orang agar mereka tidak merasa kecewa. Saya harus meyakinkan. Dengan topeng keyakinan ini, insya’allah, semua akan berjalan dengan lancar.<br />Masih tertawa? Cara saya ini manjur lo. Kalau lawaran seperti tikus-tikus itu pasti segera mampus. Kalau saya mau, tikus-tikus itu sudah mampus sejak dulu. Apa sih susahnya memberantas tikus? Cukup dengan lem tikus kan? Itu sudah beres. Tikus itu kan tidak bisa membedakan mana makanan dan mana lem. Nah kalau manusia dengan akal budinya pasti tahu, mana makanan enak dan mana yang sudah basi. Mana uang yang enak dienthit (dicuri sedikit), mana yang uang panas.<br />Ya dengan topeng ini, dasi ini, saya bisa mendapatkan kesempatan. Dan ternyata semua saya lakukan dengan mudah, ketika saya menggunakan akal budi saya. Kalian pingin tahu rahasianya? Ternyata semua pegawai dalam perusahaan saya bahkan di kantor-kantor intansi terkait dengan perusahaan tempat saya berkerja, semua mengenakan akal budinya dengan memakai dasi dan topeng seperti saya ini.<br />Begitulah cara kerjanya. Kelihatannya mudah. Kalau tidak meyakinkan, wah berat. Sulit! Seperti saya katakan di depan, kalau lawaran, hasilnya cuman sedikit. Cobalah pakai akal budi, biar lebih canggih dan kelihatan manusiawi.<br /> <br />SEEKOR TIKUS MENGERANG-NGERANG. TUBUHNYA TERGENCET PERANGKAP TIKUS.<br /><br />Itulah akibatnya kalau ‘bermain’ tidak canggih. Tradisional sekali. Ia tidak bisa mengelabuhi. Ia bekerja atas dasar insting saja. Padahal kalau pakai otak sedikit saja, manusia itu mudah dikelabuhi. Mudah ditipu. Seperti yang anda saksikan ini sebenarnya cara saya untuk mengelabuhi orang-orang. Agar orang-orang tidak pernah mempersoalkan kekayaan saya.<br />Bayangkan kalau mereka tahu kekayaan saya yang sebenarnya, pasti hidup saya sudah berakhir. Tetapi dengan akal budi saya, saya bisa mengelabuhi para petugas yang akan memeriksa kekayaan saya. Ya, terus terang dengan sedikit uang, agar mereka bisa sedikit merubah jumlah kekayaan saya. Hasilnya sangat efisien. Dengan mengeluarkan beberapa lembar ratusan ribu, hasilnya bisa Anda lihat. Harta benda saya selamat, dan sayapun masih dengan lancar menumpuk kekayaan demi kekayaan.<br /> <br />LEMARI YANG BERDIRI KOKOH TADI, DIBARINGKAN SEDEMIKIAN RUPA, SEHINGGA SESEORANG BISA BERDIRI DI ATASNYA. DI BALIK LEMARI TADI ADA TIRAI.<br /><br />Saya sudah katakan tadi, gunakan akal budi. Dan inilah salahsatu bentuk akal budi saya. <br />TIRAI MEMBUKA SEDIKIT<br /><br />Sudah bertahun-tahun saya memikirkan bagaimana menyelamatkan kekayaan saya dan keluarga saya. Barangkali ini contoh yang tidak gampang dilakukan. Terus terang, saya harus rela harta benda yang saya miliki, saya biarkan menumpuk seperti ini. <br /><br />TIRAI MEMBUKA AGAK LEBAR, SEHINGGA KELIHATAN SEBAGIAN ‘INTERIORNYA’ YANG BERISI KARDUS-KARDUS BEKAS PEMBUNGKUS KULKAS, AC, TV, TAPE, HP, DLL YANG BERGANTUNGAN. <br /><br />Begitu juga, barang-barang itu tidak pernah saya sentuh sedikitpun, demi keawetan harta benda itu. Bahkan, anak dan istri saya tidak pernah boleh menyentuhnya. Apalagi menggunakannya. Mereka tahu, bagaimana sulitnya mendapatkan harta benda itu. Oleh sebab itu, demi menjaga semua harta benda saya itu, saya harus mengelabuhi berbagai pihak. Termasuk keluarga saya. Berapa tikus itu pun tertipu. Inilah hasil kerja saya yang sebenarnya. <br /><br />TIRAI MEMBUKA LEBAR. TAMPAK ‘INTERIOR MEWAH’ DAN SEBUAH POTO (GAMBAR) KELUARGA.<br /><br />Sampeyan tidak perlu kaget. Yang dipojok sana (Menunjuk kardus bekas perlengkapan dapur. Kemudian mengenakan dasi dan mengganti topeng), semuanya saya peroleh pada lima tahun awal ketika saya mulai bekerja. Kunci untuk mendapatkan itu tidak mudah. Dengan telaten, saya mengumpulkan serupiah demi serupiah. Saya harus sedikit pandai bermain sandiwara. Melaporkan hal-hal yang tidak sebenarnya. Sering saya melebih-lebihkan laporan, sehingga pimpinan perusahaan saya senang. Pernah juga saya katakan, perusahaan kita dalam krisis, sehingga perusahaan kalangkabut dan melakukan rasionalisasi. Pada saat itu, saya bisa curi kesempatan. Orang-orang yang sok suci saya sikat. Tentu, sebelumnya saya sudah menjilati pantat direktur saya, agar dia percaya dengan apa yang saya omongkan. Berikutnya, orang yang sok suci itu tersingkir, saya memasukan orang-orang yang bisa diajak kerja sama, biar pada lima tahun ke dua, saya bisa bekerja dengan baik.<br />Yang disebelah sana (Menunjuk kardus bekas pembungkus perangkat elekronik dan gambar sofa. Kemudian mengenakan dasi dan mengganti topeng), adalah kerja saya pada lima tahun kedua. Tentu, dengan sangat mudah sekali saya bisa mengatur apa yang saya maui. Terus terang kami berlomba-lomba, manipulasi, korupsi, dan kolusi. Bagi kami, kapan lagi tidak melakukan KKN, kalau tidak saat ada kesempatan. Kami tidak mau ketinggalan jaman. Rasanya malu tidak ikut korupsi. Bahkan kalau tidak ikut-ikutan korupsi, dikatakan manusia langka. Mulai Satpam, sampai pegawai bawahan saya, semua pandai berbohong. Pada lima tahun kedua itu, saya menyebarkan paham, “Kalau ingin kaya, jangan bekerja dengan hati nurani. Bekerjalah dengan akal budimu. Kalau engkau bekerja berdasar hati nurani, maka kamu akan pulang dengan tangan hampa, sehampa hatimu yang sok bagaimana begitu.” Itulah racun yang selalu saya berikan pada anak buah saya. Hasilnya, meski mereka sedikit malu-malu, dia mau bekerja dengan ‘akalnya’.<br />Setelah mereka sadar akan kedudukannya, yang Satpam sering tidur diwaktu malam. Meskipun ia sering tahu ada kepala gudang mencuri sesuatu, ia pura-pura tidak tahu, karena besok paginya ia akan mendapat salam tempel dari kepala gudang. Yang sedikit susah itu, tukang sapu. Ia hanya bisa mengkorupsi serbet. Sementara para pekerja wanita, kalau tidak ada pekerjaan atau ada pekerjaan, kesukaannya nonton sinetron di TV yang sengaja saya letakan disitu, sambil menunggu jam kantor berakhir. Sementara saya sendiri, sibuk merubah angka-angka laporan, biar kelihatan realistis, kemudian pada akhir tahun saya melaporkan keuangan dengan wajah seperti ini! <br /> <br />MEMAKAI TOPENG SEDIH. HIDUNGNYA MANCUNG SEPERTI KELAMIN LAKI-LAKI YANG ‘TEGANG’.<br /><br />Saya laporkan, pada perusahaan bahwa perusahaan kita sedang pailit. Oleh sebab itu deviden tidak bisa dibagikan pada para pemegang saham, apalagi THR. Meski bisa, tidak sebanyak tahun sebelumnya. Tentu semua itu sudah dimaklumi oleh semua pegawai. Mereka tidak bisa memaksa, karena mereka telah mengkorupnya terlebih dahulu. Tentu, drama ini telah diatur sebelumnya. Paling tidak saya sudah menyusun laporan itu terdiri dari beberapa bagian. Pertama untuk auditur dan petugas pajak, kedua untuk pimpinan, ketiga untuk para pegawai lain. Tentu semua itu atas setahu pimpinan. Dia sendiri, tidak ingin perusahaannya kena pajak. Hanya itu.<br />Nah, yang sebelah sana (Menunjuk gambar rumah mewah dan mobil mewah kemudian mengenakan dasi lagi) adalah kekayaan saya pada lima tahun ke tiga. Pada saat itu, saya sudah menjabat jadi direktur eksekutif. Jabatan yang strategis. Saya bisa melakukan apa saja. Bahkan semakin bisa menumpuk kekayaan dengan mudah, karena sebagian kerja sama-kerja sama yang ditawarkan ke perusahaan saya, bisa saya eksekusi sendiri, dan hasilnya untuk saya sendiri. Dalam tempo kurang dari dua tahun, saya bisa mendirikan perusahaan sendiri. Seperti yang Anda tahu, saya pun menjadi kaya raya. Lihatlah, betapa semua ini merupakan hasil akal budi saya yang cemerlang. Dalam tempo lima belas tahun, mulai dari pegawai rendahan sampai saya punya perusahaan sendiri adalah kerja yang gemilang.<br /><br />TERDIAM. BEBERAPA TIKUS MELINTAS, DENGAN GERAKAN SANGAT LAMBAT.<br /><br />Namun kegemilangan itu hanya berlalu sekejab saja. Lihat poto yang di sebelah sana itu! Kekayaan yang berharga itu, tak bisa saya selamatkan. Ketika karir saya sedikit demi sedikit naik, saya bekerja siang malam, tanpa mempedulikan keluarga saya. Saya seperti diuber-uber hantu kemiskinan. Sepanjang hari saya harus bekerja keras, memeras akal, agar kehidupan kami tidak terpuruk pada kemelaratan.<br />Namun, nyatanya, apa yang saya lakukan bertahun-tahun, justru membuat salah paham diantara keluarga saya. Istri saya bilang, saya adalah orang gila. Orang yang tidak punya hati nurani. Sementara anak-anak saya menjadi remaja yang binal. Keluyuran setiap malam dan pulang dengan aroma alkohol di mulutnya sembari mendamprat saya habis-habisan, kemudian ndlosor begitu saja di sofa.<br />Pada saat itu saya pingin menampar anak saya. Tetapi dasar brandal, ia malah nerocos, memaki saya, telah sdiperbudak oleh setan. Bahkan membiarkan istrinya menjadi ‘lonthe’ yang keluar setiap malam dengan berbagai lelaki yang bisa memberinya rasa puas di ranjang.<br />Mas Korep, sebenarnya kita hanya putus asa, karena menganggap hidup sederhana lebih kaya dari hidup kaya (harta benda). Memang, semua orang pasti punya angan-angan mewah, memiliki rumah mewah, pakaian mewah, pangan mewah, kendaraan, kesempatan rekreasi dan segala aneka kesenangan badan, seperti umumnya orang. (12) <br />Saya kira semua itu wajar. Saya telah melakoninya dengan terang-terangan. Hidup di suatu negeri yang korup, hidup di tengah masyarakat yang anti akal waras, lebih baik bersikap masa bodoh atau menjadi pemberontak sama sekali. (13)<br />Saya hidup bagai batu yang punya mata. Memang benar, saya telah membuat nurani saya menjadi batu. Selama hidup, saya mengabdi pada nafsu yang menyala-nyala. Impian tentang kemewahan tidak pernah luntur. Dan ketika harapan itu terwujud, terus terang kami tergagap menerimanya. Ternyata sampeyan benar, Korep. Hidup kaya itu menakutkan. (14)<br />Mas Korep. Saya dulu juga orang yang lugu. Saya takut miskin, seperti Yu Turah. Saya takut tidak bisa membahagiakan istri dan anak-anak. Makanya saya berusaha banting tulang dengan cara apapun, asalkan saya dan keluarga saya tidak kelaparan. Saya menghalalkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, karena saya takut pada suatu hari nanti kehidupan saya jadi bangkrut. Anak-anak saya yang lahir dari rahim istri saya menjadi gelandangan, dan pada akhirnya mati di bawah kolong jembatan.<br />Oh, ternyata menjadi kaya menakutkan dan menjadi miskin juga menakutkan. Saya selalu dihantui oleh kedua-duanya. Saya pingin kaya, karena saya tidak ingin jatuh miskin yang teramat sangat. Ketika anak istri saya pergi, kekayaan itu tiba-tiba raib. Seluruh harta benda yang bertahun-tahun saya tumpuk menjadi tidak berguna. <br /> <br />MELEPAS TOPENG DAN DASI-DASI. BEBERAPA TIKUS MELINTAS DENGAN MENGUSUNG BERBAGAI HARTA BENDA.<br /><br />Ambilah! Semua tidak berguna. Ambilah, saya tidak membutuhkan lagi. Kalau perlu ambilah jantung hatiku. Semua sudah tidak berguna.<br /> <br />SEEKOR TIKUS NYRONDOL, HENDAK MENGAMBIL HARTA YANG DI BALIK TIRAI.<br /><br />Stop! Stoooop! Kalian jangan main-main dengan harta benda saya. Jangankan kamu. Istri saya saja tidak pernah menyentuhnya. Pergilah! (Mengusir dengan melempar sandal) Huh, dikira hidup itu gratisan. Dasar otak tikus. Silahkan ambil barang-barang saya, tetapi harus ada jaminannya. Apakah kalian bisa menjamin kehidupan saya yang sudah hampir berakhir ini, bisa selamat. Harta benda itu tidak ada artinya bagi keselamatan saya sendiri. Saya pingin mati dengan tenang. Saya pingin mengakiri hidup seperti ketika saya lahir dulu. Apakah ada yang bisa menjamin, bahwa saya bisa selamat tanpa harta benda di sekitar saya? Kalau ada, silahkan ambil seluruh kekayaan saya ini. Bagi saya, keutuhan keluarga saya lebih membahagiakan saya, meski semuanya sudah terlambat.<br />Sampulung, apa sampeyan tidak dengar suara saya? Mas Korep, Mas Jumena Martawangsa, Yu Turah, Make, apa sampeyan semua sudah bahagia? Saya sekarang sendirian, menjaga berhala-berhala yang saya sembah bertahun-tahun. Benda-benda itu pada mulanya bisa menyelamatkan dari ketakutan-ketakutan yang menyelimuti benak saya. Nyatanya berhala-berhala itu malah menikam saya dari belakang. Mereka hanya diam seribu bahasa. Mereka sama sekali tidak berharga, ketika tuannya butuh perlindungan. <br />Ternyata kerja keras saya hanya untuk mengubur saya dengan cara yang sangat menyakitkan. Benda-benda yang saya kumpulkan itu, malah menjadi hantu-hantu yang setiap saat mengancam jiwa saya. Setiap detik, ia selalu membuat sikap saya berubah. Saya tidak bisa tidur. Benda-benda itu, selalu menghantarkan saya pada mimpi-mimpi buruk.<br /><br />TIKUS-TIKUS BERGERAK, HENDAK MENCURI BENDA-BENDA.<br /><br />Hai jangan sentuh barang-barang itu!<br /><br />TIKUS-TIKUS DIAM.<br /><br />Sepanjang malam, saya menunggui barang-barang yang saya peroleh sejak saya hanya mempunyai lemari butut, dan kursi-kursi tua peninggalan mertua saya. Sementara orang tua saya hanya meningalkan, rasa takut akan kelaparan.<br /><br />TIKUS-TIKUS HENDAK BERGERAK.<br /><br />Sudah aku bilang, kalau kalian menyentuh benda-benda itu, maka hidupmu akan berakhir. Kalau mau hidup, cari diluar sana. Basih banyak yang bisa kamu miliki!<br />Saya sudah sering mengatakan pada anak-anak dan istri saya. Semua harta benda yang kita miliki ini bukan milik kita. Tetapi semua ini untuk masa depan cucu dan cicit-cicit kita. Harta benda itu pondasi sejarah yang kukuh, agar keturunan kita langgeng sepanjang masa. <br />Mereka tampak masa bodoh dengan yang saya katakan. Meski mulut saya nerocos. Anak-anak saya, pulang menjelang pagi dengan mata merah, rambut acak-acakan, jalannya sempoyongan, dan pasti mobilnya terluka, untuk kebut-kebutan dangan anak-anak brandal yang sok kaya itu.<br />Sementara istri saya selalu memilih tidur di vila dan membiarkan saya mendekap guling sendiri, sembari membayangkan istri saya yang dipeluk lelaki lain yang sengaja dibawanya dari plasa-plasa atau hasil arisan dengan perempuan-perempuan malang yang merasa dibuang suaminya karena sibuk mengurusi harta bendanya.<br /> <br />TIKUS-TIKUS HAMPIR MENYENTUH KARDUS-KARDUS BEKAS. <br /><br />Kamu tahu, harta benda itu saya dapatkan dengan mengorbankan segala-galanya. Untuk mendapatkan itu, kamu harus menghadapi saya, meski saya menganggapnya harta itu tidak ternilai lagi selain rasa bahagia. <br /> <br />MENGAMBIL BENDA APA SAJA DAN SIAP BERPERANG DENGAN TIKUS-TIKUS.<br /><br />Kini saatnya kita beradu nasib kawan. Siapa yang menang dialah penguasa kerajaan ini. <br /><br />MEMBURU TIKUS. TIKUS-TIKUS BERHAMBURAN DAN HILANG ENTAH KEMANA. SEMENTARA SESEORANG ITU TERUS MEMBURUNYA SAMBIL MEMUKUL-MUKUL SEKENANYA.<br /><br />Mampuslah engkau! Mampuslah engkau! Mampuslah engkau!<br /><br />BERHENTI. BERLARI LAGI DAN MEMUKUL LAGI.<br /><br />Mampuslah engkau! Enyahlah engkau!<br /> <br />TERUS BERLARI SAMBIL MEMUKUL-MUKUL HINGGA HARTA BENDA ITU BERANTAKAN TAK BERSISA.<br /><br />Habis. Ludes. Saya kira ini lebih adil. <br /><br />TIBA-TIBA SEBUAH BENDA ATAU APA SAJA JATUH.<br /><br />Hussssaaa….dimana…kamu..pengecut! Habis. Ludes. <br /><br />MENGEMASI KARDUS-KARDUS DAN MEMASUKAN KE DALAM LEMARI YANG TERBARING. SESEORANG MASUK KE DALAM LEMARI.<br /> <br />Saya kira ini lebih adil. Inilah cita-cita saya. Lahir tanpa membawa apa-apa, pulangpun tanpa membawa apa-apa bahkan tanpa siapa-siapa, meskipun saya tetap mencintai mereka.<br /><br />SEPI<br /><br />Kang Korep, saya titip nomer togelnya. ( Hendak berbaring dalam lemari dan tumpukan kardus-kardus ) Kayaknya saya dapat pulung hari ini. Tolong belikan nomer berapa saja. Tampaknya semua nomer akan jadi nomer keberuntungan saya.<br /><br />SEEKOR TIKUS MELINTAS.<br /><br />Hah itu dia. Nomer tikus. Berapa nomer tikus? Ya, lima belas! Belikan nomer tikus saja! Apa? Uang? Nanti kalau tembus saya ganti. Pokoknya belikan nomer tikus. Saya pusing sekali dengan ulah mereka. Berapapun sampeyan punya uang. Kalau tembus, uang itu akan saya buat mbakar tikus kurang ajar itu. Mengganggu orang tidur saja sepanjang hari. <br /><br />TIKUS MELESAT SEPERTI FORMULA-1<br /><br />Jancuk, apa lagi yang kamu ambil? Oya, Kang Korep, kalau nanti tembus, sampeyan pingin apa? Apa? Tidak punya keinginan? Bodoh sekali. Apa sampeyan tidak pingin bir, paloma, toak, atau nglonthe di stasiun? Siapa tahu sampeyan ketemu Turah dan saya ketemu istri saya. Tidak semuanya? Terus sampeyan pingin apa? Mati? Sampeyan pingin mati?<br /><br />DIAM. SEPI. SESEORANG MELEPAS CELANANYA, SEHINGGA TELANJANG BULAT. TERNYATA SESEORANG ITU TIDAK PUNYA ALAT KELAMIN.<br /><br />Mas, keinginan sampeyan itu sudah lama saya idamkan. Saya sebenarnya sudah mati, ketika rasa kemaluan saya hilang. Sebenarnya saya bukan manusia lagi. Sekarang, saya hanya sebagai mayat hidup yang bergentayangan menunggu malaikat maut menjemput saya dan menyeretnya ke neraka, tanpa pengadilan di depan Tuhan. Namun sampai sekarang, ketika satu demi satu keluarga meninggalkan saya sendiri, malaikat itu tak kunjung menjemput saya. Sampai kapanpun, Beliau akan saya tunggu.<br />Mas Korep, sepulang beli togel. Kalau masih punya uang tolong belikan peti mati. Kalau togel itu mbleset, kuburlah peti mati itu, anggaplah saya sudah mati. Buatkan upacara kecil dan berita duka cita. Tancapkan nisan di atasnya, dan tulis : Telah meninggal dunia, nama saya, lahir tanggal sekian, bulan sekian, tahun sekian, mati tanggal sekian, bulan sekian, tahun sekian. Ingat gunakan kata mati, jangan wafat.<br /><br />HENDAK BERBARING DI TENGAH TUMPUKAN KARDUS.<br /><br />Ya! Siapa? Apa? Nomer saya tembus? Dapat jutaan rupiah? Mas Korep, kalau begitu tolong beritahu malaikat, tunda dulu kematian saya. Kalau perlu undang mereka, kita berpesta bersama-sama! Kita mabuk-mabukan! Kita nglonthe! Kita kawin lagi, Mas. Merdeka!<br /><br />SESEORANG ITU SEGERA MEMAKAI CELANA, DASI, DAN TOPENG, KEMUDIAN BERJOGET SEKENANYA. TIKUS-TIKUS BERGEMBIRA RIA. MEREKA BERJOGET. KEMENANGAN KEMBALI MEREBAK. RUMAH YANG MURAM ITU MENYALA-NYALA MERAYAKAN KEMENANGANNYA. TIRAI PERLAHAN-LAHAN MENUTUP. DUA EKOR TIKUS MUNCUL DARI BALIK TIRAI. MEREKA MEMBENTANGKAN POSTER BERTULISKAN : “Kalau ingin berantas korupsi, do’akan tokoh kita ini segera mati!”<br /><br />Surabaya, 2004<br /> <br /><br />Keterangan :<br /><br />1. Dalam naskah drama, Sumur Tanpa Dasar, karya Arifin C Noor, pada babak awal tokoh Jumena Martawangsa mengucapkan kalimat ini, “Kalau saya bunuh diri, sandiwara ini tidak akan pernah ada.” Saya sangat terkesan dengan kalimat ini. Menurut saya, kalimat ini mencerminkan, bahwa sebuah peristiwa pasti melibatkan ‘tokoh’. Dari tokoh inilah peristiwa apapun bisa diselesaikan.<br />2. Dalam naskah drama Tengul, karya Arifin C Noor, pada babak awal tokoh Sampulung mengucapkan kalimat ini, “Menjadi tokoh nasib sama sekali tidak ada enaknya karena selalu dicemooh oleh hati, namun berlangsungnya lakon tak dapat dihalangi. Silahkan menyaksikan dan mencemooh diri saya, sudah tentu setelah saudara-saudara memuja dan menjilat-jilatnya.” Barangkali para koruptor kita berpikiran demikian.<br />3. Pada adegan penarikan lotre dalam naskah Tengul, karya Arifin C Noor, nomer yang ditomboki (dibeli) Turah istri Korep ternyata meleset lagi. Padahal ia telah menjual seluruh harta bendanya. Karena harta satu-satunya tinggal kehormatan, maka Turah menjualnya seperti menjual jajanan : “Kehormatan! Kehormatan! Kehormatan!” Oleh karena krisis ekonomi telah melanda Indonesa dengan begitu hebat dan hutang luar negeri terus melambung, maka jalan satu-satunya (secara tidak sadar) bangsa yang besar ini telah menempuh jalan, seperti yang dilakukan Turah.<br />4. Euis dan Marjuki, dicurigai Jumena Martawangsa, telah menjalin hubungan afair. Kecurigaan ini memang didasari ketakutan-ketakuatan Jumena sendiri. Tetapi sebenarnya dibalik itu, Euis dan Marjuki bisa dibilang menjalin asmara, meski ia selalu berdusta di depan Jumena. Demi sesuatu yang diyakini, manusia (menurut saya) pasti berdusta, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain.<br />5. Dalam setiap perjudian, Bandar (Salah satu tokoh di Tengul, karya Arifin C Noor) tidak pernah mengenal filosofi jujur. Ditangannyalah pendulum nasib dikuasai. Oleh sebab itu ia bebas memainkan, selicik apapun. Dan memang bandar judi jarang kalah karena harta benda mereka jelas lebih banyak dari penombok.<br />6. Kecurigaan Jumena terhadap Euis (istri mudanya) dengan Juki (adik angkat Jumena) memang berdasar ketidak percayaan akan cinta Euis. Pada babak awal Jumena bertanya pada Euis : “Apa yang diharapkan perempuan sebenarnya?” Euis menjawab, “Seorang suami yang mencintainya.” Dan dengan tangkas Jumena menjawab pula, “Saya sangsi…”<br />7. Dalam naskah Kapai-Kapai, karya Arifin C Noor, Emak menyamakan tokoh Abu (anak Emak) yang pegawai rendahan itu, sebagai Pangeran yang rupawan dan hidup bahagia. Kemiskinan memang selalu menggiring orang pada mimpi-mimpi. Karena mimpi-mimpi inilah terkadang manusia berbuat nekat. Termasuk korupsi. Manusia berkorupsi bisa jadi akibat dari rasa takut akan kemiskinan dan keinginan realisasi mimpi-mimpinya akan kemewahan.<br />8. Kerna jengah menghadapi Korep yang merasa sudah bahagia meski hidup sederhana (miskin), Turah (istri Korep) merasa perlu meyakinkan, bahwa kekayaan akan merubah segalanya.<br />9. Namun sayang, ajakan istrinya itu, tak pernah membuat surut Korep untuk tetap memilih hidup sederhana dan Korep menyatakan dalam kemiskinannya itu ia merasa tidak pernah lapar.<br />10. Baca sajak WS. Rendra, Kelaparan. Saya menulisnya diluar kepala.<br />11. Perihal nasib, Bandar (salah satu tokoh dalam naskah Tengul, karya Arifin C Noor) percaya, bahwa nasib tidak pernah berpihak pada kebanyakan orang. Tetapi pada segelintir orang, karena nasib adalah kekuatan yang tak terkendalikan dia tak pernah memihak atas golongan, suku, ras, bahkan agama. Nasib tidak ada hubungannya dengan kesalehan seseorang. Maka Bandar berujar, “Inilah kekeliruan terbesar. Nasib tidak pernah tahu, apa itu agama.”<br />12. Kesederhanaan Korep sebenarnya didasari oleh rasa putus asa. Karena pada dasarnya secara manusiawi manusia punya angan-angan tentang kekayaan harta benda dan hidup tenang.<br />13, 14. Periksa dialog Korep dengan tokoh Si Tuli.</div>teater instituthttp://www.blogger.com/profile/11723007285935945702noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-21199831523309152.post-86358841396973448572007-06-21T21:16:00.000-07:002008-02-22T19:19:19.414-08:00Profil<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjveeY7TBCTtDJmVu-UpiJh-SEXWnAjLlx8J2AsICrGa_E9RSZUHYJGdmAsZbrUYB-oftat83_fdrMOTTuiooYzKrevwZnJehS1UdnO_7CBiVZZrOvcjEZPPRzqXyAhPz3G4knNz0tVVQ/s1600-h/ontosoroh+5.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5078738479320980962" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjveeY7TBCTtDJmVu-UpiJh-SEXWnAjLlx8J2AsICrGa_E9RSZUHYJGdmAsZbrUYB-oftat83_fdrMOTTuiooYzKrevwZnJehS1UdnO_7CBiVZZrOvcjEZPPRzqXyAhPz3G4knNz0tVVQ/s320/ontosoroh+5.jpg" border="0" /></a> <br /><span style="font-weight:bold;">Profil Teater Institut Unesa</span><br />SURABAYA, TIU-Awal kelahiran teater Institut UNESA (dulu IKIP Surabaya), dari segerombolan mahasiswa di jurusan seni rupa. Mereka mendirikan teater Kosong di jurusannya sekitar tahun 1980-an. Perkembangan selanjutnya, ternyata teater kosong banyak diminati. Sehingga anggotamnya tidak melulu orang seni rupa, tetapi telah menjangkau jurusan lain.<br />Sayangnya, sejak didirikanya, teater Kosong tidak pernah menjadi terkenal. Setiap ada pementasan, orang-orang menyebutnya, "Arek Institut mentas! Arek Institut mentas!" kata-kata Institut meluncur begitu saja. dan dengan seenaknya Teater Institut menjadi nama yang paten, dari pada nama teater Kosong. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1981-an.<br /><div class="fullpost"><br />Bergesernya nama, menjadi Teater Institut, ternyata tidak membawa dampak apa-apa. Karena yang bertengger orang-orangnya tetap sama hingga sampai pada tahun 1985-an. Baru setelah terjadi perpecahan dalam tubuhnya, yang kemudian terbagi menjadi teater modern dan tradisional (ketoprak dan loedruk) eksistensi Teater Institut semakin nyata.<br />Sejak saat itu dimotori Siswo Nurwayudi, tetar Institut merangkak setapak demi setapak.<br />Produksi-produksi bersekala besar mulai dipentaskan. Beberapa naskah yang sempat diproduksi sejak 1985 sampai 2007 antara lain :<br />1990 :Pengakuan Pariem (Linus Suryadi), Grafito (Akudiat), Pasukan Berkuda (Siswo Nur Wahyudi), Demit (Heru Kewamurti), Gerr (Putu Wijaya), Tengul (Arifin C Noor), Rashomon (Reunosuke Akutagawa), Orang-orang Bawah Tanah (R. Giryadi), Orang Asing (Ruper Brook), Mimpiku pun Tergusur (Rozad Imron), Aeng ( Putu Wijaya), Bayi 1, 2, 3 (Suher M Saidi), Jalan Pencuri (Tengsoe Tjahjono), Rumah Sakit (Widodo Sulak), Pohon Dalam Piring Tanah (Tengsoe Tjahjono),<br />2000 : Nyanyian Angsa (Anton P. Chekov), Monolog Peperangan (R. Giryadi), Rashomon (Reunosuke Akutagawa), Mesin Hamlet (Heiner Muller), Monolog Biografi Kursi Tua ( R.Giryadi), Monolog Retorika Lelaki Senja (R Giryadi) Monolog Zeus (Suher M Saidi), Ode Buat Ibu (Uje El) Monolog Teriakan-Teriakan Sunyi ( R Giryadi), Setan Dalam Bahaya ( Al Hakim), Sebuah Tubuh Terbakar di Tepi Pantai (Didik Wahyudi), Garuda Botak (Didik Wahyudi), Larung Dapur ( R Giryadi) dan lain-lain.<br />Pada periode 1990-an, anggota Teater Institut, tidak hanya sekedar menampung orang-orang yang hanya berlatih teriak-teriak a-i-u-e-o, tetapi mereka yang mempunyai keperdulian terhadap teater. Maka sejak saat itu, bertambahlah anggota-anggota dari luar kampus, yang memberikan kontribusi cukup positif terhadap perkembangan teater Institut, sampai sekarang. Kini, bertempat dilaboratorium seni pertunjukan yang sederhana (tapi lengkap), sering mengadakan pementasan yang bersekala kecil (uji laboratorium).</div>teater instituthttp://www.blogger.com/profile/11723007285935945702noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-21199831523309152.post-70396761069638371142007-06-21T20:58:00.000-07:002007-06-21T21:06:40.645-07:00foto-foto latihan<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9CSxdAuCeTeXvsL_DIwx0DsIeezuF53-_UgDqvMveprL7wJSVQ5Lgd1rhyJSY2S0n5U2qtn9GlDCm739cwVrGYxJmBDozXzNNUH-VSO1_t1msBXoscNS2Bid4wOaFKQzUXQQ6cYJz8A/s1600-h/ontosoroh+4.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5078733376899833298" style="CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9CSxdAuCeTeXvsL_DIwx0DsIeezuF53-_UgDqvMveprL7wJSVQ5Lgd1rhyJSY2S0n5U2qtn9GlDCm739cwVrGYxJmBDozXzNNUH-VSO1_t1msBXoscNS2Bid4wOaFKQzUXQQ6cYJz8A/s400/ontosoroh+4.jpg" border="0" /></a><br /><div></div>teater instituthttp://www.blogger.com/profile/11723007285935945702noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-21199831523309152.post-16023396902024992602007-06-21T20:44:00.000-07:002007-06-21T20:55:23.146-07:00foto-foto latihan<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-tOoLcwzXi51yg3Gf5Kjod4XCaQKYef4wZ5Ij_RQZWmMTrUkDQuAkqNEdlgl7DAYb5z5nMCsSmdDkiMV_wY17M5MZTziUJc7cXPeEvY5D_jhhfOconc2qvliDPgyRbQqUlFHgv83NSQ/s1600-h/ontosoroh+3.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5078732178603957698" style="CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-tOoLcwzXi51yg3Gf5Kjod4XCaQKYef4wZ5Ij_RQZWmMTrUkDQuAkqNEdlgl7DAYb5z5nMCsSmdDkiMV_wY17M5MZTziUJc7cXPeEvY5D_jhhfOconc2qvliDPgyRbQqUlFHgv83NSQ/s400/ontosoroh+3.jpg" border="0" /></a><br /><div></div>teater instituthttp://www.blogger.com/profile/11723007285935945702noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-21199831523309152.post-16597740380987663132007-06-21T20:41:00.001-07:002007-06-21T20:44:00.521-07:00foto-foto latihan<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipWaQS8EhyICNKG-8e4Rtdl3hupR5iaLZHcLsL8it7rueHjWmefIP_reMbOZ5_4fv056nh7HuzQx7BYhjd78iJUs74jUveIX1hJrS8SEkgKWHgc5pZwnxQUi7RKnFLk__93Txq516ONQ/s1600-h/ontosoroh+1.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5078729219371490738" style="CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipWaQS8EhyICNKG-8e4Rtdl3hupR5iaLZHcLsL8it7rueHjWmefIP_reMbOZ5_4fv056nh7HuzQx7BYhjd78iJUs74jUveIX1hJrS8SEkgKWHgc5pZwnxQUi7RKnFLk__93Txq516ONQ/s400/ontosoroh+1.jpg" border="0" /></a><br /><div></div>teater instituthttp://www.blogger.com/profile/11723007285935945702noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-21199831523309152.post-2579861985099203072007-06-21T20:26:00.000-07:002007-06-21T20:35:42.087-07:00<div align="center"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgWTkfvHFfDhY6oFdwlAE3sYf18cjLKlADfvtTkHupklKEw9JSM-Q8a0xWcI8p7E8wvKqb4nLrs4ynQPSiP34D7ci_UiOZv9VWA7__T2C6YE7OA25IaLmJNPhUIrOkluj0K7vDfhAikZw/s1600-h/ontosoroh.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5078725723268111778" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; CURSOR: hand; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgWTkfvHFfDhY6oFdwlAE3sYf18cjLKlADfvtTkHupklKEw9JSM-Q8a0xWcI8p7E8wvKqb4nLrs4ynQPSiP34D7ci_UiOZv9VWA7__T2C6YE7OA25IaLmJNPhUIrOkluj0K7vDfhAikZw/s400/ontosoroh.jpg" border="0" /></a><span style="color:#ff9900;"> <span style="font-size:180%;">H-7 Nyai Ontosoroh</span></span></div>SURABAYA, TIU-Persiapan terakhir Hikayat Perlawanan Sanikem : Nyai Ontosoro oleh teater Institut Unesa terus dilakukan. Pementasan yang akan berlangsung di Gelanggang Mahasiswa (Gema) 27 Juni 2007 ini sedang menghadapi masa akhir proses. Mengahadapi masa akhir proses, para aktor Nyai Ontosoroh terus giat berlatih. Foto diatas memperlihatkan salah satu sesi latihan di Laboratorium Seni Pertunjukan Teater Institut Unesa, Kampus Ketintang, Surabaya. <span style="font-family:webdings;">g</span>teater instituthttp://www.blogger.com/profile/11723007285935945702noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-21199831523309152.post-7871141089973233202007-06-05T20:56:00.000-07:002007-06-05T21:08:02.074-07:00berita<span style="font-size:180%;color:#ff6600;"><strong>Pementasan Nyai Ontosoroh Pindah Tempat</strong></span><br /><span style="font-size:180%;color:#ff6600;"><strong></strong></span><br />SURABAYA, TIU-Pementasan Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh yang sedianya diadakan digedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) jl. Gentengkali 85 Surabaya, dipindahkan tempatnya menjadi di gedung Gelanggang Mahasiswa (GEMA) UNESA Kampus Ketintang Surabaya. Sementara tanggal/waktu tetap, 27 Juni 2007 pukul 19.30 wib.<br />Demikian dikatakan pimpinan produksi Nyai Ontosoroh. Menurut Arif pemindahan ini semata-mata hanya persoalan teknis. Selain itu mengutip pendapat sutradara R Giryadi, agar kampus Ketintang kembali kondusif dengan pertunjukan teater. Menurutnya, sudah hampir 5 tahun lebih (sejak FBS pindah ke kampus Lidah Wetan) pertunjukan teater di kampus Ketintang sangat minim.<br />Ditambahkan oleh Giryadi, pemindahan itu juga semata-mata faktor efektivitas koordinasi. Dia mengakui, bahwa produksi Nyai Ontosoroh kali ini didukung oleh sumber daya yang sangat terbatas. "kali ini saya harus memahami kapasitas teman-teman. Mereka yang bergabung di Nyai Ontosoroh adalah teman-teman yang memang punya kesadaran untuk berproses," katanya.<br />Sementara itu, untuk pemesanan tiket sudah bisa dilakukan mulai sekarang. Untuk umum seharga rp.10.000 sementara pelajar dan mahasiswa seharga rp.5000. Tiket bisa dipesan di sekretariat teater institut gedung H 9 Unesa kampus Ketintang, Surabaya setiap jam kerja sampai dinihari. <span style="font-family:webdings;">n</span>teater instituthttp://www.blogger.com/profile/11723007285935945702noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-21199831523309152.post-19644275352447168942007-05-24T14:51:00.000-07:002007-05-24T15:14:27.081-07:00Panggung<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaccXSGzIKlOAWp3cryk19UJne90iYc2fZnaOjTcDNj_TLUaMAhMZIe1v8Ftf-lZqf8TXKZYUrfLL12FVEgJiU5fmfAJ8KAAK5cRGzu4-yxOJKydCLgIPBD1hSASWbusEz45tnhmL5qA/s1600-h/panggung+nyai+2.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5068248582750029250" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; WIDTH: 355px; CURSOR: hand; HEIGHT: 238px; TEXT-ALIGN: center" height="175" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaccXSGzIKlOAWp3cryk19UJne90iYc2fZnaOjTcDNj_TLUaMAhMZIe1v8Ftf-lZqf8TXKZYUrfLL12FVEgJiU5fmfAJ8KAAK5cRGzu4-yxOJKydCLgIPBD1hSASWbusEz45tnhmL5qA/s200/panggung+nyai+2.jpg" width="254" border="0" /></a><strong><span style="font-size:180%;"> <span style="font-family:arial;color:#ff0000;">PANGGUNG NYAI ONTOSOROH </span></span></strong><br /><strong><span style="font-size:180%;"><span style="font-family:arial;color:#ff0000;"><span style="color:#ff9966;">'Berpijak dari Tradisi'</span><br /></span></span></strong><div></div><br /><p>SURABAYA, TIU-Artistik panggung Hikayat Perlawanan Sanikem : Nyai Ontosoroh diadaptasi dari panggung seni pertunjukan rakyat. Elemen bambu dan simbul-simbul artistik tradisional begitu dominan. Dengan mengambil konsep 'panggung tradisi' diharapakan mampu menyatukan konsep garapan yang mengambil basik tradisi. Bentuk setengah procenium dengan dibatasi dengan wing-wing dan diperkokoh dengan pilar-pilar bambu, mengingatkan panggung seni ludruk. Begitu juga penggunaan cahaya lampu 'ting' dan lampu 'teplok' diharapkan memperkuat suasana pertunjukan. Selain itu elemen janur dan beberapa perlengkapan tradisi seperti tikar mendong dan tikar pandan, payung motho, diharapakan juga mampu mengukuhkan ruang tradisi yang dimaksud.</p><p>Pendekatan panggung tradisi ini, menurut sutradara R Giryadi merupakan bagian dari penyadaran bagi kelompok produksi Nyai Ontosoroh, bahwa masyarakat tradisi kita sangat kaya dengan simbul-simbul. Ia berharap dengan mengembalikan teater pada akar tradisinya ia akan menemukan kembali 'masyarakat pendukungnya.'</p><p>Menurutnya ini sesuai dengan fighting spirit Nyai Ontosoroh. Sebagai perempuan Jawa yang telah 'didik' dengan cara Eropa ia tetap berjiwa 'Jawa.' Tau adap sopan sebagai manusia yang merdeka tanpa harus menindas orang lain. Inilah filsafat <em>tepa selira</em> yang kini telah hilang dalam ranah kehidupan sosial kita. Nyai memperingatkan bahwa hakekat perjuangan manusia adalah memperjuangkan diri sendiri dan memperjuangkan diri orang lain tanpa pandang bulu. <span style="font-family:webdings;">g</span></p><p> </p>teater instituthttp://www.blogger.com/profile/11723007285935945702noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-21199831523309152.post-58096527403523909192007-05-24T14:40:00.000-07:002007-05-24T14:43:29.699-07:00BeritaNyai Ontosoroh<br /><span style="font-family:arial;"><span style="color:#ff9966;"><span style="font-size:180%;">Produksi Generasi Terbaru TI 2007</span><br /></span></span><br />Teater Institut (TI) Unesa –dulu IKIP Surabaya- kini sudah berusia 27 tahun. Perjalanan yang sudah cukup lama. Dari tahun ke tahun dinamika proses terus mewarnai perkembangan teater yang kali pertama bernama teater Kosong itu. Selama 27 tahun tercatat berbagai peristiwa pertunjukan telah diproduksi oleh teater Institut. Selama perjalanan itu yang menarik dicatat adalah tumbuh kembangnya konsep berteater antar generasi.<br />Sepuluh tahun periode pertama perjalanan teater Insititut diwarnai dengan proses penggarapan gaya realis. Kecenderungan gaya realis ini lebih disebabkan adanya materi pendidikan drama yang dilakukan oleh Jurusan Bahasa Indonesia yaitu Pendidikan dan Lokakarya (Penlok) Drama. Disana diajarkan materi dramaturgi dan juga metode latihan praktis.<br />Sementara itu para anggota Teater Institut yang belajar di Penlok mepraktekkan ilmu di sanggar. Karena itu tak heran bila kemudian muncul garapan dengan naskah-naskah standar karya Iwan Simatupang, Arifin C Noer, Putu Wijaya, Motingo Busye. Dari sini lahir sutradara seperti Setiyono, Rozak Imron (Doyok) dan aktor seperti Siwo Nurwahyudi, Much. Hakim, Retno, dll.<br />Namun menginjak periode 90-an fenomena itu sendiri bergeser atau tepatnya lebih beragam. Sejak mengikuti ‘Pasar Teater’ ITB di Bandung 1991, ideologi ‘teater kontemporer’ mulai merasuki angota teater Institut. Banyak ekperimen diciptakan. Dari sini lahir sutradara Yogi Suprayogi, Widodo Slamet.<br />Sejak saat itu, teater Insitut terus bergerak kedalam fenomena yang beragam. Paling tidak sampai awal 2000-an fenomena itu tetap bertahan. Fenomena itu mencapai puncaknya dengan muculnya generasi yang sama sekali baru. Fenomena itu ditandai dengan hadirnya garapan Didik Wahyudi dengan Mesin Hamlet (Heiner Muller). Dengan didukung para ‘simpatisan’ Teater Institut Mesin Hamlet, sempat menjadi perhatian di ajang Pekan Performing Art di Bali.<br />R Giryadi atau biasa disapa Lek Gir adalah fenomena lain di sanggar Teater Institut. Sejak bergabung dengan Teater Insititut 1990, sampai sekarang masih tetap bertahan. Karena itulah tidak heran kalau hampir separuh perjalanan Teater Insitut didominasi karya-karyanya. Paling tidak sejak tahun 1994, dia telah memilih menjadi peran sutradara dan penulis naskah. Naskah pertama yang diciptakan adalah Orang-Orang Bawah Tanah.<br />Selama 17 tahun ngendon di Teater Institut puluhan karya telah dilahirkan.<br />Nyai Onotosoroh adalah salah satu garapannya pada periode 2000-an dengan banyak pemain. Sejak 2000 lalu dia lebih memilih bermonolog. Meski dalam periode itu lahir karyanya seperti Rashomon (Reunosuke Akutagawa-2002-2003), Setan Dalam Bahaya (Al Hakim-2004).<br />Nyai Ontosoroh merupakan garapan besar yang melibatkan banyak pihak. Sejak bulan Juni 2006 lalu proses produksi dimulai. Boleh jadi garapan besar ini merupakan tantangan besar Teater Insitut periode kepemimpinan kami. Namun atas dukungan dari saudara Aditya Harsa (mas Didit), proses itu berjalan lancar. Begitu juga para alumni dan simpatisan Teater Insitut, seperti Widodo Slamet, Agus ‘Plenthis’, Urip Joko Lelono, Yugo Jayadi, Karim, dll, telah membantu kelancaran proses ini.<br />Begitu juga kami juga menyampaikan terimakasih kepada pihak Universitas terutama Pembantu Rektor III yang telah memberikan perhatian yang cukup terhadap kegiatan mahasiswa terutama UKM Teater. Begitu juga kami juga menyampaikan terima kasih kepada Perguruan Rakyat Merdeka (PRM) Jakarta yang telah memberikan sumbangan ide dan inspirasi, terhadap proses Nyai Ontosoroh. Semoga semuanya bermanfaat bagi kita semua.<br /><br />Surabaya, Juni 2007<br />Ketua Umum<br />Teater Institut Unesa<br /><br />Luksyteater instituthttp://www.blogger.com/profile/11723007285935945702noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-21199831523309152.post-70678917250020146912007-05-20T17:58:00.000-07:002007-05-20T18:03:14.762-07:00Sajak : Alek Subairi<br/><br/><span style="font-size:180%;"><span style="color:#993300;">Surat bulan</span></span> <br/><br/>I<br/>Di warung cokelat di kota kecil <br/>remang itu memikat pikiran yang <br/>bertahun-tahun mencari tempat untuk menari <br/>seseorang menari di dalam baris kalimat berapi,<br/>kalimat yang menyimpan rahasia doa <br/><br/>Pembicaraanpun merapat pada halaman takdir<br/>bukankah semula kita tak saling kenal. <br/>ucap seorang kawan sehabis bersunyi-sunyi sendiri<br/>secangkir kopi dan malam yang asing membuka pintu bathin<br/><br/>Kami memungut hari kecil dan silsilah keluarga <br/>membalik kenangan menjadi cerminan airmata <br/>di manakah pertama kali kau menangis, kawanku <br/>adakah yang bertanya kepadamu, mengapa? <br/><br/>Lalu seseorang yang lain lagi lahir dalam pikiran <br/>seperti kekasih yang melambai di bawah palem berbaris-baris<br/>ada yang bertamu di dalam hati: namanya kekasih<br/>dan bulan yang baru terbit tiba-tiba tak ingin kau lupakan <br/>II<br/><br/>Warung itu berpagar besi bekas rel kereta <br/>lampu petromak, perempuan berkain batik, dan <br/>orang-orang laki berkumpul. tidak membuat lingkaran <br/><br/>Di tempat yang lebih wangi, perempuan bersanggul <br/>melihat bulan dan langit cerah, ekor matanya membuat tanda <br/>begitu rahasia, begitu berbahaya<br/><br/>mendekatlah seperti bisikan, <br/>mendekatlah bagai perahu nelayan di bulan desember<br/><br/>Beberapa orang mendekat bagai tikus dalam terang<br/>namaku keladi, namaku papi, namaku om, namaku kadal, namaku gelap<br/>mari melupakan pahit, mari melayang ke langit-langit paling biru<br/><br/>beri aku nama yang lain, wahai kesunyian<br/>aku lelah menjadi layang-layang tanpa benang<br/><br/>Tapi di manakah letak cinta diantara <br/>birahi dan orang laki yang meninggalkan rumah diam-diam<br/>mengapa jauh suara anak-anak yang memanggilku bunda<br/><br/><br/>III<br/><br/>Berilah aku tempat di dalam kesunyianmu <br/>wahai tualang kekasih bulan<br/>barangkali disuatu malam yang kalut<br/>di suatu malam yang tak kau duga<br/>aku menjadi air kali yang ngalir ke dalam pikiranmu<br/><br/>Aku lahir dari kecemasan orang-orang bijak<br/>untuk menjalani hidup sebagai mangsa para ular<br/>ajari aku mencuci piring dan menyiram kembang rumput<br/><br/>Malam mengapit perempuan bersanggul,<br/>wajahnya sepi tertikam, sebuah bisikan, entah dari mana<br/>tiba-tiba ingin mengantarnya pulang kepada sesuatu jauh<br/><br/>apakah aku namaku masih bisa disucikan<br/><br/>Orang-orang laki masih seperti sediakala <br/>lagu campursari, suara gelas, dan tawa yang ingkar<br/>mengucilkan namanya ke tempat paling rendah<br/>Tempat yang tak ada dalam mimpi kecilnya<br/>o, di manakah letak rasa tenteram itu, bunda.<br/><br/><br/>IV<br/><br/>Jam dua belas malam<br/>perempuan bermata kupu<br/>menunggu di jalan pulang<br/>ia ingin banyak menagis<br/><br/>Tangis yang disimpannya bertahun-tahun <br/>di dalam sebuah album bergambar seorang <br/>yang mendayung perahu ke tengah laut<br/><br/>Aku telah jauh meninggalkan tanah kelahiran<br/>aku ingin sampai ke dadamu bagai tualang<br/>yang kemalaman di jalan<br/><br/>Tuhan, perkenalkan aku dengan halaman yang <br/>menunggu namaku di pintu paling dekat, dan <br/>seorang anak yang berlari kencang ke dalam pelukanku<br/><br/>Bojonegoro 2007<br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/>teater instituthttp://www.blogger.com/profile/11723007285935945702noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-21199831523309152.post-14373273177390263642007-05-18T23:04:00.000-07:002007-05-18T23:09:01.479-07:00<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgFnqmrG9rO2P19D253f-BMqryDEa40Z5W3j5RLIH_bmpKeQ1RMyj8ctD1hQ2lFcxdQPPyo4h7iRAvEhL2pb5K7hCPEwSpr3yuzpW-rp-lC3_gcZF1OmZFv3flAYD-gjO2DGYQYDrSagg/s1600-h/SUTRADARA+OKE.gif"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5066149378829403570" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgFnqmrG9rO2P19D253f-BMqryDEa40Z5W3j5RLIH_bmpKeQ1RMyj8ctD1hQ2lFcxdQPPyo4h7iRAvEhL2pb5K7hCPEwSpr3yuzpW-rp-lC3_gcZF1OmZFv3flAYD-gjO2DGYQYDrSagg/s200/SUTRADARA+OKE.gif" border="0" /></a><br /><div><span style="color:#993300;"><span style="font-size:180%;"><strong>Teater Kita Tercerabut dari Akarnya*</strong></span><br /></span>Oleh : R Giryadi<br /><br />Pertanyaan yang sering menggelitik pikiran saya adalah, setelah sepuluh tahun berlalu, apa yang terjadi dengan kondisi teater kita? Apa terjadi perkembangan atau malah sebaliknya? Atau kita sudah puas dengan kondisi saat ini?<br />Kalau kita percaya bahwa teater merupakan suatu entitas budaya, yang kehadirannya tidak terlepas dari gejala social, ekonomi, politik maka (semestinya) teater mengalami perkembangan sesuai gejolak jamannya.<br />Sebagai entitas budaya, teater mempunyai hubungan dengan gejala-gejala social. Karena itu, akan menjadi naif bila teater pada akhirnya hidup tanpa adanya gesekan dengan dunia sosial. Dengan memahami posisi teater, pertanyaan di atas, bisa terjawab. Bahwa pada akhirnya teater tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari ekspresi dunia social,ekonomi, dan politik.<br />Sepuluh tahun yang lalu, (mungkin) berbeda dengan sekarang. Sepuluh tahun yang lalu, teater kita punya kondisi yang berbeda dengan kondisi saat ini. Tetapi kondisi saat ini punya hubungan dengan gejala-gejala yang terjadi sepuluh tahun sebelumnya. Hubungan itu bisa merupakan aksi kritis terhadap gejala-gejala, atau sebaliknya. Antara penolakan dan menerima. Katakanlah pada tahun 1990-an muncul gaya teater ekspresionisme yang kemudian menggejala juga di Jawa Timur, apakah kemudian muncul juga gaya teater yang merupakan antitesa dari gejala ini?<br />Saya kira jawabnya adalah dengan melihat gejala teater saat ini. Tetapi sebagaimana yang kita lihat, teater saat ini masih berjalan dengan kondisi psikologisnya masing-masing. Mereka yang hadir dengan semangat teater 70-80-an, cenderung membawa spirit tahun-tahun tersebut. Kemudian mereka yang hadir dalam tahun 80-90-an membawa spirit tahun-tahun tersebut. Pada akhirnya, teater (Surabaya) merupakan perjuangan mempertahankan idelisme dalam semangat jamannya sendiri-sendiri.<br />Teater yang merasa ‘mewarisi’ gaya realis-religius tahun 70-80-an tetap mempertahankan dengan konsep ini. Sementara mereka yang merasa ‘mewarisi’ gaya ekspresionisme tubuh tahun 80-90-an tetap mempertahankan ini sebagai basik ‘kulturalnya’ dalam mengolah bentuk teaternya. Sementara mereka yang tidak punya pemahaman tradisi teater di antara kedua rentang tahun tersebut, mencoba mengais-ngais pengetahuannya secara acak. Untuk kelompok terakhir ini adalah mereka masyarakat urban –mahasiswa- yang datang setelah tahun 2000-an. Untuk kelompok ini tidak banyak yang tahu, seperti apa ‘wajah’ teater di Surabaya pada tahun sebelumnya.<br />Apakah ini artinya ada keterputusan sejarah? Saya kira persoalannya tidak hanya terputusnya sejarah, tetapi juga tradisi membaca, menulis, dan mengembangkan wacana teater bagi generasi selanjutnya hampir tidak ada. Lemahnya dunia pemikiran inilah, teater di Surabaya hidup berdasarkan insting. Karena itulah tidaklah heran kalau terjadi peristiwa teater, hanya akan berhenti pada peristiwa panggung belaka. Karena itu kita menjadi mahfum kalau generasi selanjutnya tidak mengenali jejak-jejak pemikiran selama sepuluh tahun terakhir ini.<br />Karena itu, seperti kita tahu, yang menjadi berdebatan dalam setiap peristiwa teater, hanya perdebatan pada persoalan bentuk saja. Seperti, ‘Ah, teatermu jambi (jaman biyen, pen).’ ‘Teater realis harus dibunuh.’ ‘Teater verbal itu sudah kuno.’ Dan lain sebagainya. Uniknya mereka yang berpendapat tidak sadar yang mereka sampaikan itu hanyalah persoalan bentuk. Tidak mengarah pada persoalan isi dan esensi teaternya. Padahal masalah bentuk, dalam dunia teater sejak lama hanya ada dua kutub yang sampai saat ini sama-sama berkembang, yaitu realis dan non realis. Perkembangan selanjutnya hanyalah percikan-percikan bentuk yang semuanya bersumber pada dua kutub itu.<br />Tetapi pada akhirnya yang harus kita pahami, kedua kutub teater itu lahir atas keresahan manusia terhadap dunia sosialnya. Teater –apapun bentuknya- hanyalah ‘wadah’ untuk menyalurkan keresahannya itu. Keresahan inilah yang semestinya menjadi titik persoalan perdebatan. Sementara bentuk adalah persoalan artistic yang selama ini hanya ada realis dan non realis (verbal dan non verbal). Tetapi di balik bentuk itu apakah yang sedang diresahkan (terjadi)? Apakah teater itu mampu mengkomunikasikan keresahannya? Apakah mereka memakai bahasa verbal atau bahasa simbolik adalah sebuah pilihan. Semua sah.<br />Sementara itu, sepanjang yang saya tahu, perjalanan teater di Surabaya akhir-akhir ini banyak menekankan pada kerja artistik (bentuk, red) semata. Karena itu, tak jarang, teater kita terlihat indah dalam bentuk tetapi kosong dalam isinya. Esensi teater adalah upacara bersama sering terlupakan. Masyarakat hadir di gedung-gedung teater hanya untuk dicokok hidungnya seperti kerbau. Mereka hanya disuguhi ilusi-ilusi bentuk. Teater hadir hanya demi teater itu sendiri. Teater kita seperti menjadi kehilangan akarnya. Mereka seperti lahir dari langit, sebagai masyarakat yang eksklusif.<br />Padahal, seperti kita ketahui, ungkapan pagupon omahe doro, melu Nipon tambah sara, lebih membumi daripada bentuk ludruknya Cak Durasim, sampai sekarang. Ini artinya, spirit teater kita perlu dikembalikan pada spirit keperpihakannya pada semangat jamannya. Kalau ungkapan Cak Durasim di atas sebagai jawaban atas gejolak social politik saat itu, teater saat ini juga harus mampu menemukan ungkapan atas jawaban gejolak jamannya. Ungkapan Cak Durasim merupakan katarsis dari keadaan jamannya. Untuk menemukan ungkapan itu, teater harus kembali pada akar masyarakatnya.<br />Apapun bentuknya, teater harus menjadi ‘ruang public’, atau tempat bertemunya dunia pemikiran antara kritikus, seniman, media massa, dan masyarakat penonton. Reformasi teater tidak hanya bicara pada pencapaian bentuk belaka tetapi lebih tepat pada pencapaian isi dan esensinya. Teater harus menjadi katarsis di tengah jaman yang bergejolak.<br />Ini memang seperti mimpi. Tetapi, perdebatan, ejek-mengejek, tentang bentuk teater harus diakhiri. Teater harus dikembalikan pada entitas budayanya, yaitu teater sebagai upacara dalam lingkup social, ekonomi, dan politik pada jamannya. Teater hadir tidak lagi pada persoalan bentuk belaka tetapi yang lebih penting, teater menjadi bagian dari ekspresi budaya masyarakat dari segala golongan. Ingat, tradisi teater kita lahir dari tengah-tengah masyarakat, bukan dari langit. Semua itu akan terwujud kalau tradisi riset, menulis, dan membaca dalam lingkungan ‘academika teater’ juga bangkit. Semoga ini bukan mimpi. ***<br /><br />*Untuk bahan diskusi pertunjukan ‘Larung Dapur’ di Unisda Lamongan, 10 April 2007<br /><br />R. Giryadi<br />Selain bergiat di Teater Institut Unesa ia menulis cerpen, esai, dan puisi. Karya-karyanya selain dibacakan diberbagai kesempatan, juga dipublikasikan di media massa seperti, Horison, Surabaya Post, Kompas (Jawa Timur), Media Indonesia, Jawa Pos, Surya, Suara Merdeka, Suara Karya, Sinar Harapan, Memorandum, Panjebar Semangat.<br /> </div>teater instituthttp://www.blogger.com/profile/11723007285935945702noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-21199831523309152.post-62676828576894229392007-05-18T20:35:00.000-07:002007-05-18T20:53:40.490-07:00berita<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIur-prVOrr5y_zEfAYqY7HueAbChPF0yFHiHMNwozwonyWC3zsojXY2epkEGykPdGN7arXhz_q7a2OL_ONu3l-CDjKoNUUw8PeO_iA8nVmE2O-Aju21fnPCqGIqzIuOakL_KahU7ebw/s1600-h/bener+koper+oke.gif"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5066111471448049042" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIur-prVOrr5y_zEfAYqY7HueAbChPF0yFHiHMNwozwonyWC3zsojXY2epkEGykPdGN7arXhz_q7a2OL_ONu3l-CDjKoNUUw8PeO_iA8nVmE2O-Aju21fnPCqGIqzIuOakL_KahU7ebw/s200/bener+koper+oke.gif" border="0" /></a><br /><div><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIur-prVOrr5y_zEfAYqY7HueAbChPF0yFHiHMNwozwonyWC3zsojXY2epkEGykPdGN7arXhz_q7a2OL_ONu3l-CDjKoNUUw8PeO_iA8nVmE2O-Aju21fnPCqGIqzIuOakL_KahU7ebw/s1600-h/bener+koper+oke.gif"></a><strong><span style="color:#ff9966;">Nyai Ontosoroh : Perempuan Jawa Baru</span></strong></div><div> </div><div>SURABAYA, TIU-Produksi Nyai Ontosoroh kali ini menurut sang sutradara merupakan produksi paling berat. Sejak bulan Juni 2006 secara aktif masing-masing aktor melakukan 'riset' membongkar-bongkar wacara yang terkait dengan novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer dimana Nyai dan Tuan Mellema hidup.</div><div>"Kita harus mencari berbagai literatur yang melatari novel ini. Semua aktor terlibat dalam proses adaptasi naskah. Mereka semua wajib membaca novelnya," kata R Giryadi.</div><div>Laki-laki kelahiran Blitar ini mengatakan, bahwa selama proses, aktor aktif menawarkan kemungkinan-kemungkinan, bentuk, interpretasi karakter, dan bahkan mencoba membongkar filosofi di balik karakter Nyai. Tak pelak lagi, proses ini harus ada peran kritikus sastra -sebagai-pembanding. Karena itu pada pertengahan Februari lalu, tim produksi mengadakan diskusi kecil bersama Tjahjono Widarmanto seorang yang dikenal sebagai penyair sekaligus kritikus sastra yang tinggal di Ngawi.</div><div>Dari bincang-bincang itu ditemukan makna dibalik sikap perlawanan Sanikem (Nyai Ontosoroh). Dibalik sikap yang teguh itu terkandung makna bahwa Nyai merupakan sosok perempuan Jawa Baru (modern) yang mengidamkan persamaan hak dimuka hukum -kolonial- maupun kultulral. "kalau Kartini melawan dengan tulisan. Tetapi Nyai melawan dengan tindakan. Fighting spiritnya adalah tindakan, bekerja, kreatif, berfikir, semua ada pada Nyai," kata Widarmanto. <span style="font-family:webdings;">g</span><br /><br /></div><div></div>teater instituthttp://www.blogger.com/profile/11723007285935945702noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-21199831523309152.post-84602539746696253222007-05-18T17:48:00.000-07:002007-05-18T18:07:43.989-07:00Berita<div align="justify"><span style="font-family:arial;">Teater Institut Pentaskan</span></div><div align="justify"><span style="font-family:arial;"><strong>Hikayat Perlawanan Sanikem : Nyai Ontosoroh</strong></span></div><div align="justify"><span style="font-family:arial;"></span> </div><div align="justify"><span style="font-family:arial;">SURABAYA, TIU-Perjalanan teater Institut (TI) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) kini memasuki usianya yang ke 27 tahun. Diusianya yang semakin tua TI tak pernah berhenti berkarya. Pada tahun 2006 lalu memroduksi Terompet Senjakala naskah R. Giryadi dan sutradara Erik Martadianta di mainkan diajang bergengsi Festival Seni Surabaya (FSS) 2006. Kini di pertengahan tahun 2007 TI kembali hadir dengan naskah Hikayat Perlawanan Sanikem : Nyai Ontosoroh. Naskah ini menurut ketua umum TI yang baru Luksy berasal dari adaptasi novel Bumi Manusia kaya Pramudya Ananta Toer.</span></div><div align="justify"><span style="font-family:arial;">"Prosesnya sudah sejak bulan Juni lalu. Saya kira kini saatnya kami mementaskan karya yang diadaptasi oleh saudara R Giryadi," kata Luksy.</span></div><div align="justify"><span style="font-family:arial;">Ditambahkannya, Nyai Ontosoroh dimainkan oleh aktor-aktor lintas generasi TI, diantaranya ada nama Ismirul Munawaroh yang juga mantan ketua umum TI 2003-2004. Juga ada Didik Wahyudi, Alek Subairi, Supriwa, Rofi, Pipi, Yusi, dan juga tidak ketinggalan sang sutradara R Giryadi juga ikut bermain.</span></div><div align="justify"><span style="font-family:arial;">Rencananya garapan ini akan dipertontonkan di gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur jl.Gentengkali 85 Surabaya tanggal 27 Juni 2007. Selain itu juga akan dipentaskan di STKIP Sumenep tanggal 14 Juli 2007.</span></div><div align="justify"><span style="font-family:arial;">Produksi kali ini bekerja sama dengan Sanggar Dua Satu, Kelompok Belajar Sosialis (KBS) dan juga Perguruan Rakyat Merdeka (Jakarta), Alumni Teater Institut (Ateis). </span><span style="font-family:webdings;"><strong>g</strong></span></div>teater instituthttp://www.blogger.com/profile/11723007285935945702noreply@blogger.com0