Teater Kita Tercerabut dari Akarnya*
Oleh : R Giryadi
Pertanyaan yang sering menggelitik pikiran saya adalah, setelah sepuluh tahun berlalu, apa yang terjadi dengan kondisi teater kita? Apa terjadi perkembangan atau malah sebaliknya? Atau kita sudah puas dengan kondisi saat ini?
Kalau kita percaya bahwa teater merupakan suatu entitas budaya, yang kehadirannya tidak terlepas dari gejala social, ekonomi, politik maka (semestinya) teater mengalami perkembangan sesuai gejolak jamannya.
Sebagai entitas budaya, teater mempunyai hubungan dengan gejala-gejala social. Karena itu, akan menjadi naif bila teater pada akhirnya hidup tanpa adanya gesekan dengan dunia sosial. Dengan memahami posisi teater, pertanyaan di atas, bisa terjawab. Bahwa pada akhirnya teater tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari ekspresi dunia social,ekonomi, dan politik.
Sepuluh tahun yang lalu, (mungkin) berbeda dengan sekarang. Sepuluh tahun yang lalu, teater kita punya kondisi yang berbeda dengan kondisi saat ini. Tetapi kondisi saat ini punya hubungan dengan gejala-gejala yang terjadi sepuluh tahun sebelumnya. Hubungan itu bisa merupakan aksi kritis terhadap gejala-gejala, atau sebaliknya. Antara penolakan dan menerima. Katakanlah pada tahun 1990-an muncul gaya teater ekspresionisme yang kemudian menggejala juga di Jawa Timur, apakah kemudian muncul juga gaya teater yang merupakan antitesa dari gejala ini?
Saya kira jawabnya adalah dengan melihat gejala teater saat ini. Tetapi sebagaimana yang kita lihat, teater saat ini masih berjalan dengan kondisi psikologisnya masing-masing. Mereka yang hadir dengan semangat teater 70-80-an, cenderung membawa spirit tahun-tahun tersebut. Kemudian mereka yang hadir dalam tahun 80-90-an membawa spirit tahun-tahun tersebut. Pada akhirnya, teater (Surabaya) merupakan perjuangan mempertahankan idelisme dalam semangat jamannya sendiri-sendiri.
Teater yang merasa ‘mewarisi’ gaya realis-religius tahun 70-80-an tetap mempertahankan dengan konsep ini. Sementara mereka yang merasa ‘mewarisi’ gaya ekspresionisme tubuh tahun 80-90-an tetap mempertahankan ini sebagai basik ‘kulturalnya’ dalam mengolah bentuk teaternya. Sementara mereka yang tidak punya pemahaman tradisi teater di antara kedua rentang tahun tersebut, mencoba mengais-ngais pengetahuannya secara acak. Untuk kelompok terakhir ini adalah mereka masyarakat urban –mahasiswa- yang datang setelah tahun 2000-an. Untuk kelompok ini tidak banyak yang tahu, seperti apa ‘wajah’ teater di Surabaya pada tahun sebelumnya.
Apakah ini artinya ada keterputusan sejarah? Saya kira persoalannya tidak hanya terputusnya sejarah, tetapi juga tradisi membaca, menulis, dan mengembangkan wacana teater bagi generasi selanjutnya hampir tidak ada. Lemahnya dunia pemikiran inilah, teater di Surabaya hidup berdasarkan insting. Karena itulah tidaklah heran kalau terjadi peristiwa teater, hanya akan berhenti pada peristiwa panggung belaka. Karena itu kita menjadi mahfum kalau generasi selanjutnya tidak mengenali jejak-jejak pemikiran selama sepuluh tahun terakhir ini.
Karena itu, seperti kita tahu, yang menjadi berdebatan dalam setiap peristiwa teater, hanya perdebatan pada persoalan bentuk saja. Seperti, ‘Ah, teatermu jambi (jaman biyen, pen).’ ‘Teater realis harus dibunuh.’ ‘Teater verbal itu sudah kuno.’ Dan lain sebagainya. Uniknya mereka yang berpendapat tidak sadar yang mereka sampaikan itu hanyalah persoalan bentuk. Tidak mengarah pada persoalan isi dan esensi teaternya. Padahal masalah bentuk, dalam dunia teater sejak lama hanya ada dua kutub yang sampai saat ini sama-sama berkembang, yaitu realis dan non realis. Perkembangan selanjutnya hanyalah percikan-percikan bentuk yang semuanya bersumber pada dua kutub itu.
Tetapi pada akhirnya yang harus kita pahami, kedua kutub teater itu lahir atas keresahan manusia terhadap dunia sosialnya. Teater –apapun bentuknya- hanyalah ‘wadah’ untuk menyalurkan keresahannya itu. Keresahan inilah yang semestinya menjadi titik persoalan perdebatan. Sementara bentuk adalah persoalan artistic yang selama ini hanya ada realis dan non realis (verbal dan non verbal). Tetapi di balik bentuk itu apakah yang sedang diresahkan (terjadi)? Apakah teater itu mampu mengkomunikasikan keresahannya? Apakah mereka memakai bahasa verbal atau bahasa simbolik adalah sebuah pilihan. Semua sah.
Sementara itu, sepanjang yang saya tahu, perjalanan teater di Surabaya akhir-akhir ini banyak menekankan pada kerja artistik (bentuk, red) semata. Karena itu, tak jarang, teater kita terlihat indah dalam bentuk tetapi kosong dalam isinya. Esensi teater adalah upacara bersama sering terlupakan. Masyarakat hadir di gedung-gedung teater hanya untuk dicokok hidungnya seperti kerbau. Mereka hanya disuguhi ilusi-ilusi bentuk. Teater hadir hanya demi teater itu sendiri. Teater kita seperti menjadi kehilangan akarnya. Mereka seperti lahir dari langit, sebagai masyarakat yang eksklusif.
Padahal, seperti kita ketahui, ungkapan pagupon omahe doro, melu Nipon tambah sara, lebih membumi daripada bentuk ludruknya Cak Durasim, sampai sekarang. Ini artinya, spirit teater kita perlu dikembalikan pada spirit keperpihakannya pada semangat jamannya. Kalau ungkapan Cak Durasim di atas sebagai jawaban atas gejolak social politik saat itu, teater saat ini juga harus mampu menemukan ungkapan atas jawaban gejolak jamannya. Ungkapan Cak Durasim merupakan katarsis dari keadaan jamannya. Untuk menemukan ungkapan itu, teater harus kembali pada akar masyarakatnya.
Apapun bentuknya, teater harus menjadi ‘ruang public’, atau tempat bertemunya dunia pemikiran antara kritikus, seniman, media massa, dan masyarakat penonton. Reformasi teater tidak hanya bicara pada pencapaian bentuk belaka tetapi lebih tepat pada pencapaian isi dan esensinya. Teater harus menjadi katarsis di tengah jaman yang bergejolak.
Ini memang seperti mimpi. Tetapi, perdebatan, ejek-mengejek, tentang bentuk teater harus diakhiri. Teater harus dikembalikan pada entitas budayanya, yaitu teater sebagai upacara dalam lingkup social, ekonomi, dan politik pada jamannya. Teater hadir tidak lagi pada persoalan bentuk belaka tetapi yang lebih penting, teater menjadi bagian dari ekspresi budaya masyarakat dari segala golongan. Ingat, tradisi teater kita lahir dari tengah-tengah masyarakat, bukan dari langit. Semua itu akan terwujud kalau tradisi riset, menulis, dan membaca dalam lingkungan ‘academika teater’ juga bangkit. Semoga ini bukan mimpi. ***
*Untuk bahan diskusi pertunjukan ‘Larung Dapur’ di Unisda Lamongan, 10 April 2007
R. Giryadi
Selain bergiat di Teater Institut Unesa ia menulis cerpen, esai, dan puisi. Karya-karyanya selain dibacakan diberbagai kesempatan, juga dipublikasikan di media massa seperti, Horison, Surabaya Post, Kompas (Jawa Timur), Media Indonesia, Jawa Pos, Surya, Suara Merdeka, Suara Karya, Sinar Harapan, Memorandum, Panjebar Semangat.
Oleh : R Giryadi
Pertanyaan yang sering menggelitik pikiran saya adalah, setelah sepuluh tahun berlalu, apa yang terjadi dengan kondisi teater kita? Apa terjadi perkembangan atau malah sebaliknya? Atau kita sudah puas dengan kondisi saat ini?
Kalau kita percaya bahwa teater merupakan suatu entitas budaya, yang kehadirannya tidak terlepas dari gejala social, ekonomi, politik maka (semestinya) teater mengalami perkembangan sesuai gejolak jamannya.
Sebagai entitas budaya, teater mempunyai hubungan dengan gejala-gejala social. Karena itu, akan menjadi naif bila teater pada akhirnya hidup tanpa adanya gesekan dengan dunia sosial. Dengan memahami posisi teater, pertanyaan di atas, bisa terjawab. Bahwa pada akhirnya teater tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari ekspresi dunia social,ekonomi, dan politik.
Sepuluh tahun yang lalu, (mungkin) berbeda dengan sekarang. Sepuluh tahun yang lalu, teater kita punya kondisi yang berbeda dengan kondisi saat ini. Tetapi kondisi saat ini punya hubungan dengan gejala-gejala yang terjadi sepuluh tahun sebelumnya. Hubungan itu bisa merupakan aksi kritis terhadap gejala-gejala, atau sebaliknya. Antara penolakan dan menerima. Katakanlah pada tahun 1990-an muncul gaya teater ekspresionisme yang kemudian menggejala juga di Jawa Timur, apakah kemudian muncul juga gaya teater yang merupakan antitesa dari gejala ini?
Saya kira jawabnya adalah dengan melihat gejala teater saat ini. Tetapi sebagaimana yang kita lihat, teater saat ini masih berjalan dengan kondisi psikologisnya masing-masing. Mereka yang hadir dengan semangat teater 70-80-an, cenderung membawa spirit tahun-tahun tersebut. Kemudian mereka yang hadir dalam tahun 80-90-an membawa spirit tahun-tahun tersebut. Pada akhirnya, teater (Surabaya) merupakan perjuangan mempertahankan idelisme dalam semangat jamannya sendiri-sendiri.
Teater yang merasa ‘mewarisi’ gaya realis-religius tahun 70-80-an tetap mempertahankan dengan konsep ini. Sementara mereka yang merasa ‘mewarisi’ gaya ekspresionisme tubuh tahun 80-90-an tetap mempertahankan ini sebagai basik ‘kulturalnya’ dalam mengolah bentuk teaternya. Sementara mereka yang tidak punya pemahaman tradisi teater di antara kedua rentang tahun tersebut, mencoba mengais-ngais pengetahuannya secara acak. Untuk kelompok terakhir ini adalah mereka masyarakat urban –mahasiswa- yang datang setelah tahun 2000-an. Untuk kelompok ini tidak banyak yang tahu, seperti apa ‘wajah’ teater di Surabaya pada tahun sebelumnya.
Apakah ini artinya ada keterputusan sejarah? Saya kira persoalannya tidak hanya terputusnya sejarah, tetapi juga tradisi membaca, menulis, dan mengembangkan wacana teater bagi generasi selanjutnya hampir tidak ada. Lemahnya dunia pemikiran inilah, teater di Surabaya hidup berdasarkan insting. Karena itulah tidaklah heran kalau terjadi peristiwa teater, hanya akan berhenti pada peristiwa panggung belaka. Karena itu kita menjadi mahfum kalau generasi selanjutnya tidak mengenali jejak-jejak pemikiran selama sepuluh tahun terakhir ini.
Karena itu, seperti kita tahu, yang menjadi berdebatan dalam setiap peristiwa teater, hanya perdebatan pada persoalan bentuk saja. Seperti, ‘Ah, teatermu jambi (jaman biyen, pen).’ ‘Teater realis harus dibunuh.’ ‘Teater verbal itu sudah kuno.’ Dan lain sebagainya. Uniknya mereka yang berpendapat tidak sadar yang mereka sampaikan itu hanyalah persoalan bentuk. Tidak mengarah pada persoalan isi dan esensi teaternya. Padahal masalah bentuk, dalam dunia teater sejak lama hanya ada dua kutub yang sampai saat ini sama-sama berkembang, yaitu realis dan non realis. Perkembangan selanjutnya hanyalah percikan-percikan bentuk yang semuanya bersumber pada dua kutub itu.
Tetapi pada akhirnya yang harus kita pahami, kedua kutub teater itu lahir atas keresahan manusia terhadap dunia sosialnya. Teater –apapun bentuknya- hanyalah ‘wadah’ untuk menyalurkan keresahannya itu. Keresahan inilah yang semestinya menjadi titik persoalan perdebatan. Sementara bentuk adalah persoalan artistic yang selama ini hanya ada realis dan non realis (verbal dan non verbal). Tetapi di balik bentuk itu apakah yang sedang diresahkan (terjadi)? Apakah teater itu mampu mengkomunikasikan keresahannya? Apakah mereka memakai bahasa verbal atau bahasa simbolik adalah sebuah pilihan. Semua sah.
Sementara itu, sepanjang yang saya tahu, perjalanan teater di Surabaya akhir-akhir ini banyak menekankan pada kerja artistik (bentuk, red) semata. Karena itu, tak jarang, teater kita terlihat indah dalam bentuk tetapi kosong dalam isinya. Esensi teater adalah upacara bersama sering terlupakan. Masyarakat hadir di gedung-gedung teater hanya untuk dicokok hidungnya seperti kerbau. Mereka hanya disuguhi ilusi-ilusi bentuk. Teater hadir hanya demi teater itu sendiri. Teater kita seperti menjadi kehilangan akarnya. Mereka seperti lahir dari langit, sebagai masyarakat yang eksklusif.
Padahal, seperti kita ketahui, ungkapan pagupon omahe doro, melu Nipon tambah sara, lebih membumi daripada bentuk ludruknya Cak Durasim, sampai sekarang. Ini artinya, spirit teater kita perlu dikembalikan pada spirit keperpihakannya pada semangat jamannya. Kalau ungkapan Cak Durasim di atas sebagai jawaban atas gejolak social politik saat itu, teater saat ini juga harus mampu menemukan ungkapan atas jawaban gejolak jamannya. Ungkapan Cak Durasim merupakan katarsis dari keadaan jamannya. Untuk menemukan ungkapan itu, teater harus kembali pada akar masyarakatnya.
Apapun bentuknya, teater harus menjadi ‘ruang public’, atau tempat bertemunya dunia pemikiran antara kritikus, seniman, media massa, dan masyarakat penonton. Reformasi teater tidak hanya bicara pada pencapaian bentuk belaka tetapi lebih tepat pada pencapaian isi dan esensinya. Teater harus menjadi katarsis di tengah jaman yang bergejolak.
Ini memang seperti mimpi. Tetapi, perdebatan, ejek-mengejek, tentang bentuk teater harus diakhiri. Teater harus dikembalikan pada entitas budayanya, yaitu teater sebagai upacara dalam lingkup social, ekonomi, dan politik pada jamannya. Teater hadir tidak lagi pada persoalan bentuk belaka tetapi yang lebih penting, teater menjadi bagian dari ekspresi budaya masyarakat dari segala golongan. Ingat, tradisi teater kita lahir dari tengah-tengah masyarakat, bukan dari langit. Semua itu akan terwujud kalau tradisi riset, menulis, dan membaca dalam lingkungan ‘academika teater’ juga bangkit. Semoga ini bukan mimpi. ***
*Untuk bahan diskusi pertunjukan ‘Larung Dapur’ di Unisda Lamongan, 10 April 2007
R. Giryadi
Selain bergiat di Teater Institut Unesa ia menulis cerpen, esai, dan puisi. Karya-karyanya selain dibacakan diberbagai kesempatan, juga dipublikasikan di media massa seperti, Horison, Surabaya Post, Kompas (Jawa Timur), Media Indonesia, Jawa Pos, Surya, Suara Merdeka, Suara Karya, Sinar Harapan, Memorandum, Panjebar Semangat.
0 comments:
Post a Comment