Surat bulan
I
Di warung cokelat di kota kecil
remang itu memikat pikiran yang
bertahun-tahun mencari tempat untuk menari
seseorang menari di dalam baris kalimat berapi,
kalimat yang menyimpan rahasia doa
Pembicaraanpun merapat pada halaman takdir
bukankah semula kita tak saling kenal.
ucap seorang kawan sehabis bersunyi-sunyi sendiri
secangkir kopi dan malam yang asing membuka pintu bathin
Kami memungut hari kecil dan silsilah keluarga
membalik kenangan menjadi cerminan airmata
di manakah pertama kali kau menangis, kawanku
adakah yang bertanya kepadamu, mengapa?
Lalu seseorang yang lain lagi lahir dalam pikiran
seperti kekasih yang melambai di bawah palem berbaris-baris
ada yang bertamu di dalam hati: namanya kekasih
dan bulan yang baru terbit tiba-tiba tak ingin kau lupakan
II
Warung itu berpagar besi bekas rel kereta
lampu petromak, perempuan berkain batik, dan
orang-orang laki berkumpul. tidak membuat lingkaran
Di tempat yang lebih wangi, perempuan bersanggul
melihat bulan dan langit cerah, ekor matanya membuat tanda
begitu rahasia, begitu berbahaya
mendekatlah seperti bisikan,
mendekatlah bagai perahu nelayan di bulan desember
Beberapa orang mendekat bagai tikus dalam terang
namaku keladi, namaku papi, namaku om, namaku kadal, namaku gelap
mari melupakan pahit, mari melayang ke langit-langit paling biru
beri aku nama yang lain, wahai kesunyian
aku lelah menjadi layang-layang tanpa benang
Tapi di manakah letak cinta diantara
birahi dan orang laki yang meninggalkan rumah diam-diam
mengapa jauh suara anak-anak yang memanggilku bunda
III
Berilah aku tempat di dalam kesunyianmu
wahai tualang kekasih bulan
barangkali disuatu malam yang kalut
di suatu malam yang tak kau duga
aku menjadi air kali yang ngalir ke dalam pikiranmu
Aku lahir dari kecemasan orang-orang bijak
untuk menjalani hidup sebagai mangsa para ular
ajari aku mencuci piring dan menyiram kembang rumput
Malam mengapit perempuan bersanggul,
wajahnya sepi tertikam, sebuah bisikan, entah dari mana
tiba-tiba ingin mengantarnya pulang kepada sesuatu jauh
apakah aku namaku masih bisa disucikan
Orang-orang laki masih seperti sediakala
lagu campursari, suara gelas, dan tawa yang ingkar
mengucilkan namanya ke tempat paling rendah
Tempat yang tak ada dalam mimpi kecilnya
o, di manakah letak rasa tenteram itu, bunda.
IV
Jam dua belas malam
perempuan bermata kupu
menunggu di jalan pulang
ia ingin banyak menagis
Tangis yang disimpannya bertahun-tahun
di dalam sebuah album bergambar seorang
yang mendayung perahu ke tengah laut
Aku telah jauh meninggalkan tanah kelahiran
aku ingin sampai ke dadamu bagai tualang
yang kemalaman di jalan
Tuhan, perkenalkan aku dengan halaman yang
menunggu namaku di pintu paling dekat, dan
seorang anak yang berlari kencang ke dalam pelukanku
Bojonegoro 2007
Sunday, May 20, 2007
Sajak : Alek Subairi
Posted by teater institut at 5:58 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment