(Pra diskusi menuju, Mesin Hamlet menjelang Terompet Senjakala)
Cermin sebuah Sejarah
Pernahkah anda bercermin? Apa yang terjadi (dalam pikiran) ketika anda bercermin? Adakah sesuatu yang terjadi dalam pikiran anda? Apa reaksi Anda? Apakah tiba-tiba cermin menjadi sebuah lorong yang tak terbatas, menembus berbagai dimensi? Atau tiba-tiba cermibn berubah menjadi keseluruhan ruang tubuh Anda? Atau barang kali tanpa anda sadari, cermin itu berubah menjadi ‘sejarah’ masa lalu atau seditik yang lalu.
Untuk memasuki ruang ke aktoran, menurut saya kita harus membuka berbagi pintu -yang tanpa kita sadari- banyak yang tertutup. Menjadi aktor, menurut saya ibarat bercermin. Ketika bercermin –menurut pengalaman saya- terjadi ekspresi (ungkapan hati) yang spontan. Tiba-tiba kita seperti memasuki ruang sejarah yang spontan, tanpa bisa kita rencanakan dan sekaligus menolak kehadirannya. Sejarah itu berlompat-lompatan, saling tindih dan pada akhirnya berbagai persoalan-persoalan itu bermuara pada pertanyaan yang falsafati : “siapakah aku.”
Pada muara inilah kita mengadu pada diri sendiri. Kita berinteraksi dengan diri sendiri. Kita bermonolog dialtar kesunyian. Pada saat kita tersadar, pasti kita akan lupa jawabannya. Besok, ketika kita kembali bercermin, pertanyaan itu datang lagi : “siapakah aku”.
Menjadi aktor, memang harus terus bertanya pada ‘aku’. Bukan untuk menemukan ‘aku’ tetapi untuk memaknai ‘aku’. Karena ‘aku’ bukan eksistensi (wujud) tetapi ‘aku’ adalah makna (abstrak). Menjadi aktor itu, tidak berhenti pada kwalitas performancenya tetapi aktor yang bisa ‘merasuki roh.’ (mumet pora kowe…..) Inilah yang dinamakan memasuki sejarah dalam ruang hampa (cermin).
Jadi kalau kita bercermin, -seperti yang saya alamai- seakan kita sedang merasuki sebuah ‘roh’. Dimana kita bukan menjadi diri kita sendiri, melainkan, menjadi sesuatu yang kita benci, sesuatu yang kita harapkan, sesuatu yang menggembirakan, sesuatu yang memuakan, sesuatu yang…nggatheli. Semua berbaur menjadi satu, sehingga tak jarang, tiba-tiba kita tersenyum, bahkan tiba-tiba kita merasa takut dan melarikan diri. Menjadi aktor memang ‘menggembirakan’ sekaligus ‘menakutkan.’
Memaknai Aku
Menjadi aktor itu bisa menggembirakan sekaligus bisa menakutkan. Menggembirakan, bila kita bisa memaknai ‘aku’. Sedangkan menakutkan bila kita dikuasi ‘aku’. Memaknai ‘aku’ dalam pengertian sempit, bisa menghidupkan karkter (permukaan/wantah). Dalam pengertian luas bisa menghidupkan ‘roh’ (iner), bahkan bisa membunuh ‘roh’. “Aku dulu Hamlet…..tepi sekarang Ipin”!
Menjadi Basir (diri sendiri) itu (barangkali) mudah, tetapi menjadi Takehiko, Basir harus rela berbagi ‘Aku’ dengan ‘dia’. Dengan diri dan cermin. Pada cermin, Basir harus rela dirinya ‘ditelanjangi’ untuk melihat siapakah dirinya yang sebenarnya. Apakah dalam dirinya terkandung, manusia bejat, suami yang tak bertanggung jawab pada istrinya, manusia yang tidak memiliki perikeadilan, manusia yang hanya mementingkan diri sendiri, atau justru sebakliknya, dia adalah manusia yang bertanggung jawab pada diri dan istrinya. Takeheko adalah roh dalam sejarah. Sedangkan Basir adalah pelaku sejarah. Untuk dapat hidup, Basir harus ‘menangkap roh’ dalam sejarah itu. (Mumet maneh kon…)
Pertanyaannya mapukah kita menangkap roh dalam sejarah itu? Inilah tantangan kita (aktor) untuk memaknai aku (diri) dan aku (dia). Pekerjaan ini tidak gampang, karena kita ‘dipaksa’ memainkan dua peran yang dalam pengertian sejarah dan filsafat berbeda.
Problim keaktoran itu seringkali terbentur pada kwalitas memaknai aku. Kwalitas aktor itu ditentukan, seberapa jauh, pemeran itu bisa menghidupi diri –nya dan diri-nya yang lain. Sering kali saya melihat penampilan seorang aktor itu, aku adalah aku, dan dia adalah dia. Ini menyulitkan permainan. Saya sering menjumpai, kwalitas aktor kita berhenti pada penyampaian ‘peran,’ dan tidak sampai pada penyampaian ‘pesan.’ Keaktoran kita (TI) belum bisa menembus dimensi dalam dirinya, sehingga kalau kita melihat berbagai produksi (TI), kita hanya melihat, Basir yang berkata-kata, Iwan yang terbahak-bahak, Ipin yang petentang-petenteng keberatan peran, dll. Ekstrimnya, jangan menjadi aktor bila hanyab bermodal hapal naskah saja.
Memang sepenuhnya itu bukan kesalahan aktor! (hheee…gitu aja marah). Faktor yang lain pasti bisa menyebabkan seberapa jauh kwalitas aktor itu bisa baik. Tentu anda semua tau bahwa faktor sutradara juga menjadi ‘penentu’ aktor itu menjadi berkwalitas atau sebaliknya. Namun dalam seson ini, bukankah kita hanya berbicara keaktoran. Jadi mohon maaf bila saat ini yang menjadi terdakwa sang aktor. (Kapan sutradaranya? Terserah Anda)
Memaknai Teknik
Seluruh tubuh manusia adalah sejarah. Setiap sudut sendi kita terkandung sejarah. Begitu juga pakaian yang menempel dalam tubuh kita adalah sejarah. Manusia adalah sejarah. Kwalitas manusia itu bukan pada pencapaian memaknai sejarah masa lalunya tetapi menciptakan sejarah masa depannya.
Ketika kita bercermin, yang kita gali bukan melihat sejarah, tetapi membuat sejarah itu hadir untuk menjadi sejarah masa depan. Yang menjadi pertanyaan adalah mampukah anda menggali sejarah (ruang bawah sadar) dan menjadikannya sejarah masa depan (idea)? Teknik bermain, sebernanya telah menyatu dalam diri kita. Tetapi kita terkadang tidak menyadari, berbagai ‘teknik’ itu sudah kita kuasai. Tetapi mengapa kita tidak bisa menghadirkan ‘teknik’ yang sudah kita kuasai itu dalam tataran ‘idea’?
Barang kali pertanyaan ini sepadan : Mampukah kita berekspresi, hanya berbekal pengetahuan teknis? Pengetahuan teknis, sering menjebak kita ke hal-hal yang mekanis. Meski demikian hal-hal teknis itu harus kita gali, agar potensi mekanis bisa kita redam. Pengertiannya hal-hal teknis itu harus sudah menyatu dalam diri kita dan bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Semua terkontrol dalam kesadaran yang penuh dan total.
Jadi, memaknai teknis itu, tidak seperti kita belajar 1+1 = 2, tetapi bisa jadi 1+1 = tak terhingga. Belajar teknis itu menjadi sesuatu yang tidak terukur. Kita tidak bisa mengandalkan latihan vokal A, I, U, E, O…untuk mendapatkan kwalitas fokal yang imajinatif. Kita perlu eksplorasi sampai seberapa jauh vokal itu bisa menghidupkan peran.
Memaknai teknis itu tidak sebatas latihan rutin saja. Tetapi lebih jauh dan terpenting adalah mendalami kwalitas kehidupan kita. Dalam kehidupan keta, berbagai hal teknis telah menyatu dengan gerak tubuh kita. Hanya saja tidaK pernah kita sadari. Untuk dapat kita menyadarinya, kekuatan teknis itu harus kita gali setiap kita latihan rutin, kemudian menjadi sesuatu yang kita sadari. Sehingga kekuatan teknis itu, benar-benar menyatu dan tidak berdiri-sendiri. Sehingga ketika kita berlatih untuk memerankan sebuah peran, yang terjadi bukan sebuah penindasan oleh sutradara dan peran, tetapi, kompromi dan dialog dengan sutradara dan peran.
Epilog
Jadilah Ipin kemudian jadilah Hamlet (dalam ruang idea).
(selamat mumet memikirkan teater)
(Disampaikan dalam rangka latihan alam, angota teater Institut Unesa 2004, di Pangajaran Jombang)
1 comments:
zzzzzzzzzzzzzz...
ayo berpartisipasi dalam acara "temu teman ke-6" lebih lengkap dapat ke www.teamuteman.blogspot.com atau ke www.komunitasteater.blogspot.com
Post a Comment